Pengelolaan energi dan Sumber Daya Alam (SDA) pasca reformasi belum dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Banyak capaian yang sudah diraih setelah melewati 2 dekade reformasi ini, namun masih banyak agenda reformasi yang belum tercapai, salah satunya adalah agenda pemberantasan korupsi. Hal ini disampaikan dalam Diskusi “Pengelolaan Energi dan SDA Pasca 20 Tahun Reformasi” (25/5) lalu.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyoroti makro ekonomi dan penerimaan negara di sektor pertambangan. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas dari tahun ke tahun terus menurun, PNBP Migas turun tajam di 2009 menjadi sebesar 10,6% dan di 2016 hanya 2% dari total PNBP. Sedangkan penerimaan di sektor pertambangan umum, walaupun kontribusi terhadap total PNBP kecil, namun penerimaannya terus naik. Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Migas selama 2004-2016 jumlahnya naik 6 kali lipat, namun sejak 2015 dan 2016 PPh migas nilainya menurun tajam menjadi 49 triliun dan 36 triliun. Penurunan PPh Migas ini dipengaruhi oleh anjloknya harga minyak.
“Salah satu tantangan yang dihadapi saat ini adalah kenaikan konsumsi energi yang meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan konsumsi energi di 1998. Naiknya konsumsi energi ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Begitu juga dengan konsumsi minyak yang terus naik dengan peningkatan rata-rata 4% per tahun, namun peningkatan konsumsi ini tidak dibarengi dengan penemuan cadangan minyak baru,” ujar Maryati.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti situasi kelistrikan pasca 1998. Menurutnya, rasio elektrisikasi selama 1998-2017 naik dari 50% menjadi 93% di 2017. Kenaikan rasio elektrifikasi ini didukung oleh kapasitas pembangkit listrik yang naik 2x lipat, dengan konsumsi listrik meningkat 3x lipat. Fabby menambahkan, bahan bakar fosil pun masih mendominasi 80-85% dari total kapasitas pembangkit, dan batubara masih menjadi andalan komoditas dalam pemenuhan energi ke depan.
Tama S Langkun, Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW menyoroti kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2010-2017. Dalam kurun waktu tersebut, 271 orang yang menjadi tersangka dalam perkara korupsi Sumber Daya Alam.[1] Dengan rincian 45 kasus korupsi di perkebunan, 22 kasus korupsi kehutanan, dan 23 kasus pertambangan.
Tama juga memaparkan temuan ICW mengenai potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor timah yang tidak tercatat selama 2004-2015 sebanyak 389.678 metric ton dengan nilai Rp.79 triliun. Juga adanya indikasi kurang catat nilai ekspor bijih nikel sepanjang 2007-2015 sebesar 57 triliun.
Tantangan pemberantasan korupsi saat ini yaitu konflik kepentingan kepala daerah dalam pengelolaan SDA. Beberapa kasus korupsi SDA seperti kasus penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan IUP di Sulawesi Tenggara yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam; penyalahgunaan izin kuasa pertambangan nikel Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman; Korupsi izin kelapa sawit di Kutai Kartanegara yang melibatkan Rita Widyasari; suap izin tambang yang menjerat anggota DPR RI Adriansyah; penyalahgunaan wewenang penerbitan IPPKH di Pelalawan yang menjerat Gubernur Riau Rusli Zainal.
Tama menambahkan, dalam kasus korupsi Nur Alam, untuk pertamakalinya KPK menggunakan metode perhitungan kerugian dampak lingkungan yang menyebabkan kerugian negara sebesar 4,3 triliun rupiah. Namun, Basuki Wasis yang menjadi saksi ahli dalam perhitungan kerugian negara ini kemudian digugat balik oleh tersangka Nur Alam. Dikhawatirkan, ini akan mengancam agenda pemberantasan korupsi dan perjuangan lingkungan hidup.
[1] Dengan status perkara yang sudah sampai tahap penyidikan.