Masyarakat Kecamatan Tayan Hilir merasa khawatir lantaran lahan yang mereka kelola terancam oleh hadirnya izin tambang dan kebun sawit. Hal itu dikarenakan dari total luas wilayah Tayan Hilir yang mencapai 119.502 hektar, 51%-nya telah dibebani izin tambang, 54%-nya adalah perkebunan sawit dan 12%-nya adalah Hutan Tanaman Industri (HTI). Jika dijumlahkan luas perizinan sudah melebihi luas Kecamatan Tayan Hilir.

Merasa terancam dengan semakin menyempitnya wilayah kelola masyarakat, beberapa perwakilan warga didampingi oleh Swandiri Institute mendatangi DPRD Kabupaten Sanggau untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui kegiatan rapat dengar yang diselenggarakanSelasa (26/5) lalu. Dalam audiensi itu Kepala Desa Sejotang, Piustomi menyampaikan kegelisahannya terkait tercemarnya Danau Semenduk akibat limbah dari perusahaan tambang yang beroperasi di sana.

“Danau Semenduk merupakan sumber mata pencaharian dimana nelayan setempat biasa mencari ikan. Sejak adanya aktivitas PT Mahkota Karya Utama (MKU), Danau Semenduk dijadikan tempat pembuangan limbah pencucian bauksit. Bahkan, di areal danau ini dibangun kanal-kanal dari hasil pengupasan tanah (over burden) yang seharusnya digunakan untuk reklamasi. Sayangnya, perusahaan hingga saat ini belum melakukan kewajiban reklamasi dan paska tambang,” tegas Piustomi.

Desa Sejotang berlokasi sekitar 20 km dari Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di Desa Sejotang juga terdapat Gunung Sebayan, dimana di gunung ini terdapat tembawang masyarakat. Tembawang merupakan lahan yang dikelola warga yang ditanami buah-buahan. Di gunung ini juga terdapat sumber air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga melalui pipa.

Desa lainnya di Desa Subah, Sekretaris Desa Subah Toni menyampaikan bahwa di desanya hingga saat ini belum ada listrik. Padahal di wilayah tersebut banyak terdapat konsesi perusahaan seperti PT. Danpac Resources (tambang bauksit), PT MSP, SJAL, dan ACP (sawit).“Ironinya, perusahaan tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap kebutuhan dasar energi warga Desa Subah,” ujar Toni.

Sedangkan di Desa Pedalaman terdapat Danau Bekat. Danau Bekat menjadi tercemar akibat aktivitas perkebunan sawit di sekitar danau, PT. NSP, dan PT. SMA yang limbahnya mengalir ke danau Bekat. Hasil tangkap nelayan pun menurun.
Pendampingan Masyarakat Tayan Hilir ke DPRD Membahas Wilayah Kelola Masyarakat

Melihat hal ini, warga menyadari pentingnya pemetaan partisipatif. Menurut Hermawansyah, Direktur Eksekutif Swandiri Institute, proses pemetaan partisipatif menjadi lebih cepat setelah menggunakan bantuan wahana tanpa awak (drone). “Proses pemetaan menggunakan sistem GPS untuk menandai batas wilayah, mulai dari desa hingga hutan adat. Batas ini lah yang menjadi rute terbang drone, dan drone mengambil potret dari ketinggian tertentu,” kata Hermawansyah.

Dalam rapat dengar Hermawansyah Direktur Eksekutif Swandiri Institute menunjukkan peta sementara yang sudah dihasilkan. Peta ini menjadi informasi dasar yang menjadi pegangan warga dalam memperjuangkan wilayah kelola mereka. “Masyarakat mengusulkan ditetapkannya hutan adat sebagai upaya penyelamatan wilayah kelola masyarakat di Desa Subah, Desa Sejotang, dan Desa Pedalama dengan ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan/perlindungan masyarakat hukum adat.Sambil menunggu penetapan Perda, pemerintah Kabupaten (Bupati) dapat mengeluarkan keputusan tentang penetapan hutan adat,” tambah Hermawan.

Anggota DPR dari Komisi C Robby Sugianto SE menanggapi positif upaya yang sudah dilakukan oleh masyarakat Tayan Hilir. Robby menyarankan agar Kepala Desa berhati-hati saat memberikan izin saat jual beli tanah akan dilakukan. “Banyak warga yang mengajukan sertifikat, saya harap Kepala Desa jangan mendengar informasi dari sepihak saja. Dengan hati-hati saat ada jual beli tanah, harapannya kulitas hutan bisa terjaga,” tukas Robb