JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan 2.078 izin usaha pertambangan yang dilakukan pemerintah dinilai belum dapat menyelesaikan persoalan lingkungan dan kemanusiaan. Pemerintah pun didesak untuk membuka informasi nama perusahaan, lokasi, dan status lahan terkini yang izinnya dicabut.

Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menyampaikan, pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) belum dapat menyelesaikan persoalan karena pemerintah hanya mencabut perusahaan kecil. Sementara sejumlah perusahaan tambang besar yang memiliki catatan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan sampai saat ini belum ditindak tegas.

”Sejak perusahaan tersebut berdiri nyaris tidak pernah ada tindakan hukum yang tegas, terutama terkait kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. Apabila diperiksa satu-satu, sebenarnya perusahaan ini sudah memiliki banyak catatan kelam,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (14/1/2022).

Menurut Melky, evaluasi perpanjangan ataupun pencabutan IUP yang dilakukan pemerintah hanya berbasis administratif, tertutup, dan transaksional. Hasil evaluasi ataupun kejahatan yang dilakukan perusahaan juga tidak pernah dibuka ke publik, terutama ke masyarakat sekitar yang terdampak kegiatan pertambangan.

Perlu juga diidentifikasi apakah perusahaan tersebut sudah melakukan kewajiban keuangan atau memperbaiki kerusakan lingkungan. Lahan dari perusahaan yang sudah dicabut juga tidak serta-merta bisa dialihkan ke pihak lain dan pemanfaatannya harus hati-hati.

Ia memandang fakta tersebut membuat korporasi masih memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan negara. Bahkan, hal ini ditunjukan dari sejumlah regulasi yang memberikan kemudahan dan keuntungan bagi korporasi untuk mengeruk sumber daya alam, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No 3/2020 yanng merupakan perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Lokasi penambangan batubara ilegal disegel oleh Satpol PP Kota Balikpapan di RT 045 Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (16/11/2021).

”Tidak adanya penegakan hukum atas tindak kejahatan dari perusahaan ini tidak terlepas dari relasi politik ekonomi antara pemilik perusahaan dan elite politik pemegang otoritas kekusaan saat ini. Jadi, apa pun kejahatan yang dilakukan korporasi akan susah dilakukan penegakan hukum,” tuturnya.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menilai, pemerintah masih belum memberikan informasi yang detail dan jelas terkait dengan status pencabutan 2.078 IUP. Publik belum mendapatkan informasi detail apakah 2.078 IUP tersebut sudah dicabut atau dalam proses pencabutan. Adapun pada surat pencabutan yang telah ditandatangani Menteri Investasi baru berjumlah 19 IUP.

”Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Januari 2022 terdapat 5.273 IUP dan yang tercatat legal sebanyak 2.533 IUP. Setelah pencabutan ini, seharusnya Kementerian ESDM secara transparan harus bisa menjelaskan status 2.078 IUP tersebut akan dicabut atau sudah dicabut,” ucapnya.

Agar memberikan transparansi, Aryanto meminta pemerintah membuka informasi pencabutan izin tersebut secara detail kepada publik. Informasi yang harus disampaikan adalah nama dan lokasi perusahaan serta menginventarisasi status lahan pascapencabutan.

”Perlu juga diidentifikasi apakah perusahaan tersebut sudah melakukan kewajiban keuangan atau memperbaiki kerusakan lingkungan. Lahan dari perusahaan yang sudah dicabut juga tidak serta-merta bisa dialihkan ke pihak lain dan pemanfaatannya harus hati-hati,” katanya.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan terkait pencabutan izin usaha tambang, kehutanan, dan hak guna usaha di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022).

Pencabutan IUP mulai dilakukan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Senin (10/1). Sebanyak 19 surat pencabutan IUP juga telah resmi ditandatangi Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. IUP yang dicabut merupakan izin yang tidak beroperasi, tidak ditindaklanjuti dengan izin usaha, atau tidak menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

”Pencabutan ini merupakan bentuk penataan yang dilakukan oleh pemerintah untuk didistribusikan kepada pelaku usaha di daerah yang memiliki kompetensi. Kami tidak mau izin-izin yang diberikan hanya jadi kertas di bawah bantal atau dibawa lagi untuk mencari investor yang pada akhirnya tidak bisa terealisasi,” kata Bahlil.

Skema perusahaan

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Haris Retno, mengatakan, persoalan kontrak perusahaan pertambangan sudah menjadi isu yang sangat krusial sejak tahun 1967. Sejak saat itu hingga 2009, tata kelola pertambangan menggunakan skema kontrak dan hal ini tidak membuat negara memiliki cukup wewenang atau posisi tawar yang besar terhadap perusahaan tambang.

Mengetahui akan kondisi ini, pemerintah kemudian membuat UU No 4/2009 yang merevisi skema kontrak pertambangan menjadi perizinan. Secara konsep hukum, skema perizinan memberikan kewenangan dan kontrol yang lebih besar bagi negara sebagai pemegang izin.

Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur mepaparkan titik lokasi tambang ilegal, Januari 2020.

”Akan tetapi, masih banyak perusahaan tambang yang memegang kontrak jangka panjang yang belum habis masa kontraknya pada 2009 lalu saat UU Minerba dibuat. Ketentuan yang mewajibkan perusahaan mengubah skema kontrak menjadi izin juga tidak diindahkan. Jadi, masih banyak perusahaan yang masih menggunakan skema kontrak karena lebih menguntungkan,” tuturnya.

Retno juga menyayangkan revisi UU Minerba justru menghidupkan kembali rezim kontrak terhadap perusahaan tambang sehingga membuat kontrol negara semakin kecil. Pada akhirnya, ketentuan yang ada dalam UU No 3/2020 bisa merugikan masyarakat. Sebab, persoalan yang dihadapi dan dirasakan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan tidak lagi menjadi syarat dalam perpanjangan kontrak.

Sumber: Kompas