Jakarta, Petrominer — Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dituntut serius mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batubara di tahun 2019 menjadi 400 juta ton. Pembatasan itu merupakan mandat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
“Jangan sampai RPJMN dan RUEN hanya sekedar jadi dokumen saja namun jauh dari implementasi, dan pembatasan batubara hanya menjadi mimpi,” ujar Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Merah Johansyah Ismail, Minggu (16/7).
Merah mengatakan, pihaknya meragukan komitmen pemerintah apalagi setelah adanya surat kepada Kementerian PPN/Bappenas dari Kementerian ESDM tentang rencana produksi batubara. Surat itu berisi rencana produksi batubara tahun 2017 sebesar 477,91 juta ton, atau lebih tinggi 64,9 juta ton dari data RPJMN untuk produksi batubara 2017 yaitu 413 juta ton.
Menurutnya, langkah strategis selain kebijakan pembatasan produksi juga telah tertuang dalam RUEN yakni moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) batubara di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.
“Moratorium sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih jauh dari pertambangan di kawasan yang dilindungi,” tegas Merah.
Setidaknya tercatat sebanyak 26 rencana aksi mengenai batubara dari Peraturan Presiden (Perpres) No 22/2017 tentang RUEN yang harus diimplementasikan dengan target waktu yang berbeda-beda. Sayangnya, tidak ada aturan tegas soal sanksi atau mekanisme diinsentif apabila ada pelanggaran dari perusahaan dan provinsi yang melanggar.
Di luar pelanggaran aturan itu semua, mestinya pemerintah bahkan dituntut lebih radikal lagi menurunkan angka produksi batubara nasional. Semuanya harus dicek ulang dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan ekosistem kepulauan Indonesia.
“Saat ini, sudah 44 persen dari daratan dan perairan indonesia dikapling tambang, 10 persennya dikapling oleh tambang batubara yang sudah tumpang tindih dengan 4,4 juta hektar lahan pertanian produktif,” ujar Merah.
Harga Turun
Hal senada juga disampaikan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Konsorsium LSM ini menuntut Kementrian ESDM untuk serius mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batubara tahun 2019 menjadi 400 juta ton, sesuai mandat RPJMN 2015-2019 dan RUEN. Selain itu, pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan suhu panas bumi di bawah 2 derajat Celcius, melalui kesepakatan perubahan iklim di Paris dan Maroko.
Peneliti Tata Kelola Batubara, PWYP Indonesia, Agung Budiono mengatakan tren produksi saat ini mengalami penurunan yakni, di 2015 sebanyak 461 juta ton dan 2016 sebanyak 434 juta ton. Namun, faktor pendorong penurunan tersebut bukan karena kebijakan pembatasan, melainkan adanya faktor penurunan harga.
“Buktinya di 2017 pemerintah merevisi target menjadi sangat tinggi. Karena itu, seharusnya pemerintah menyusun strategi khusus bagaimana mengatur PKP2B dan IUP di Provinsi untuk patuh melakukan pembatasan. Kendala utama pasti terjadi di Provinsi, namun ini tantangan bagi pemerintah atas kebijakan yang dibuatnya. Harus dicari jalan keluarnya bersama,” papar Agung.
Menurutnya, setidaknya terdapat dua hal penting yang harus didorong agar dapat mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batubara. Pertama, perlunya keseriusan dalam melakukan perubahan paradigma pengelolaan energi, yaitu tidak lagi bergantung pada penggunaan energi fosil seperti batubara secara masif.
“Pemerintah sudah harus mulai berpikir soal batubara sebagai salah satu penopang penerimaan negara, karena selama pemerintah ini masih berpikir batubara dan sumber daya ekstraktif menjadi tumpuan penerimaan dan fiscal. Akibatnya, akan sangat sulit kita keluar dari ketergantungan pada energi fosil,” ujar Agung.
Sumber: Petrominer