Liputan6.com, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak pemerintah membatalkan kebijakan baru mengenai ekspor mineral tambang, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun olahan (konsentrat). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan, semua aturan terkait pelonggaran ekspor mineral harus dicabut, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Mineral dan Batubara (Minerba) pasal 102 dan 1003 yang mewajibkan perusahaan mineral melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Aturan baru mengenai ekspor mineral tersebut juga dianggap bertentangan dengan UU No 4 tahun 2009 pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009‎.

“Pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat UU Minerba ,” kata Maryati, di Jakarta, Rabu (18/1/2017).

‎‎Maryati menyebutkan aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, harus di‎cabut, karena bertentang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara.

Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

Menurutnya, ketiga aturan yang diterbitkan pada tanggal 11 Januari 2017 tersebut, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian yang masih dalam kategori mentah.

Selanjutnya, beleid ini memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Minerba.

Maryati melanjutkan, Pemerintah juga secara nyata tidak tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan menyatakan bahwa semangat UU Minerba sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat. (Pew/Gdn)