JAKARTA, KOMPAS — Rencana memberi prioritas bagi perguruan tinggi mendapat wilayah izin usaha pertambangan dinilai sebagai sesat pikir dan jebakan untuk membuat institusi perguruan tinggi yang semestinya kritis jadi tak ”berisik” dengan rezim baru. Karena itu, perguruan tinggi diminta menolak rencana WIUP.

Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) untuk pembahasan rancangan undang-undang (RUU) mengenai perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), di Jakarta, Senin (20/1/2025), salah satu isu dalam RUU itu adalah prioritas pemberian WIUP untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi.

Dalam paparan yang dibacakan tim ahli dalam rapat tersebut, prioritas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi disematkan dalam Pasal 51A. Pada Ayat (1) pasal tersebut tertulis, WIUP mineral logam bisa diberikan pada perguruan tinggi secara prioritas. Di ayat berikutnya, pertimbangan pemberian WIUP itu adalah akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B.

”Kami prihatin dengan rencana atau gagasan memperluas kewenangan pemberian WIUP, yang juga untuk perguruan tinggi,” kata Masduki, mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) di acara Respon Jaringan Masyarakat Sipil atas Agenda Rapat Baleg DPR untuk Revisi RUU Minerba yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

”Hal ini kami nilai sesat pikir parlemen karena justru memberikan izin pada institusi yang semestinya sebagai penyeimbang dari kelompok masyarakat sipil. Ini kebablasan,” tuturnya.

Masduki yang juga dosen di Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini menambahkan, jika negara ini mau sehat dan demokratis, para politisi harus berpikir dalam trias politika, yakni pemerintah, partai, dan parlemen. Di sisi lain ada masyarakat sipil yang jadi pengontrol.

Perlu ada oposisi sehingga ketika parlemen melenceng, ormas dan perguruan tinggi ”melawan”. ”Sesuai semangat atau warisan reformasi agar negara demokrasi terwujud, yakni membangun masyarakat sipil atau madani. Ini sepertinya mau dihapus dengan memberi izin WIUP kepada ormas keagamaan dan perguruan tinggi,” ungkapnya.

Hal ini kami nilai sesat pikir parlemen karena justru memberikan izin pada institusi yang semestinya sebagai penyeimbang dari kelompok masyarakat sipil. Ini kebablasan.

Masduki menegaskan, pemberian WIUP untuk perguruan tinggi mengancam otonomi dan kebebasan akademik. Perguruan tinggi sejatinya melakukan kritik sosial dan tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).

”Bisa dibayangkan jika perguruan tinggi diberi kewenangan mengelola tambang yang mengalami kerusakan luar biasa, tidak mampu melakukan otokritik. Jadi ke mana masyarakat mendapat pernyataan kritis yang obyektif?” kata Masduki.

”Otonomi akademik jadi diganggu. Kini bentuknya bukan dengan menghambat kritik atau memenjarakan akademisi, melainkan modelnya berubah dengan memberi akademisi proyek atau pekerjaan lewat izin tambang,” ujarnya.

Represi baru

Masduki mengimbau agar perguruan tinggi berhati-hati dengan tawaran WIUP. Kampus mengalami represi berlapis, mulai dari suara pemerintah dalam pemilihan rektor PTN, tunjangan kinerja ASN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang tak dibayarkan, hingga demonstrasi pegawai ASN Kemendiktisaintek pada Menteri Diktisaintek.

”Ini ada represi baru pada otonomi kampus dengan memberi WIUP. Ini jelas melawan semangat demokrasi. Wajar jika perguruan tinggi menolak gagasan ini. Sebab, ini sesat pikir dan kemunduran. Perguruan tinggi semestinya jadi pengontrol dan melakukan riset, bukan sebagai pelaku usaha,” kata Masduki.

Aryanto Nugroho, peneliti Publish What You Pay Indonesia (PWYP), mengatakan, sebenarnya perguruan tinggi diberi izin mengelola mineral. Hal ini tetap dinilai sebagai upaya menciptakan kampus oligarki. Perusahaan seperti Freeport saja tak mudah membangun hilirisasi, apalagi kampus. Belum lagi ada risiko rugi.

”Tetap saja fokuskan kampus dalam menyiapkan sumber daya masnuia dalam industri pertambangan dan mineral. Selain itu, memastikan agar kampus tetap obyektif dan transfer pengetahuan,” ujar Masduki.

Kampus bukan membuat perusahaan, tetapi laboratorium yang menghasilkan paten agar bisa digunakan industri dalam negeri. Jadi, kampus hidup dari paten karena mengelola perusahaan tidak sederhana. Ini diberikan bisa sebagai jebakan untuk tidak kritis terhadap rezim ini,” tuturnya.

Menggunakan alat berat, pekerja memindahkan slag nikel, salah satu limbah pengolahan nikel berbentuk seperti pasir, di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Selasa (2/7/2024).

Secara terpisah, Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, adanya wacana pemberiuan WIUP pada perguruan tinggi dinilai sebagai bentuk perhatian pemerintah pada perguruan tinggi negeri.

”Saya mengapresiasi niat baik pemerintah. Namun, saya belum melihat dokumen detail seperti apa sehingga belum bisa berkomentar jauh. Nanti perlu bermitra dan perlu dikaji. Prinsipnya, saya menyambut baik usulan ini,” kata Arif. PTN membutuhkan dana besar untuk setara dengan kampus kelas dunia.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan dari Partai Gerindra mengatakan, revisi ini merupakan peluang bagi masyarakat untuk melakukan usaha (penambangan) secara langsung. Hal ini merupakan bentuk amanat dari Pasal 33 UUD 1945.

Sumber: Kompas


Bagikan