Meskipun, mendapat penolakan yang keras dari berbagai elemen masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, ada sejumlah perubahan signifikan seperti status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pengurangan masa hukuman, dan penghapusan sanksi pada pihak tertentu. Regulasi ini justru memberikan keleluasaan pada perusahaan tambang karena ada klausul perpanjangan izin otomatis yang menguntungkan perusahaan yang kontraknya akan segera habis. Hukuman pidana pun dikurangi dari 10 tahun menjadi 5 tahun, serta pasal-pasal lain yang turut menciptakan polemik di sektor pertambangan minerba.

Pasal-pasal tersebut menyiratkan UU Minerba yang baru makin menjauhkan amanat pasal 33 ayat 3 konstitusi tentang pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Yang tidak kalah penting, UU Minerba ini juga paralel dengan agenda besar yang tak kalah kontroversial yakni RUU Cipta Kerja. Secara garis besar, rancangan regulasi ini memperluas wewenang pemerintah pusat mereduksi wewenang pemerintah daerah. Sekalipun untuk mengefektifkan birokrasi, pemerintah tidak bisa begitu saja memangkas wewenang daerah tanpa justifikasi yang jelas. Bagaimanapun otonomi daerah merupakan bagian dari amanat konstitusi.

Oligarki tambang, regulasi minim sanksi, dan keterbukaan kontrak menjadi tiga isu krusial dalam UU Minerba. Penguatan oligarki tambang tergambar jelas karena secara substansi aturan ini begitu akomodatif terhadap kepentingan korporasi. Di sisi lain, pasal-pasal dalam aturan ini juga minim sanksi bagi pihak yang melanggar. Hal ini tentu saja memperburuk kualitas penegakkan hukum. Ini menunjukkan UU Minerba tidak sejalan dengan semangat keterbukaan informasi publik, prinsip partisipasi, dan berpotensi mengabaikan akuntabilitas dalam penyelenggaraan tata kelola pertambangan.

Memperkuat Oligarki dan Minim Sanksi

Sejak awal digulirkan, banyak pihak meragukan kualitas rancangan regulasi ini karena dianggap sarat dengan kepentingan korporasi. Contohnya pasal-pasal kontroversi yang terlalu merelaksasi perusahaan pertambangan. Karena itu muncul spekulasi, rancangan undang-undang ini merupakan titipan perusahaan tambang besar yang akan segera habis masa kontraknya. Pasal 1 angka 13b membuat perusahaan yang habis masa kontraknya akan secara otomatis diperpanjang izinnya. Seolah tidak ada kata akhir dari perizinan yang sebelumnya sudah dibuat, adanya UU ini otomatis melanjutkan operasi tambang mereka.

Mengutip CNBC Indonesia, sejumlah perusahaan tambang yang akan segera habis masa kontraknya adalah PT Arutmin Indonesia, yang akan habis pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia yang habis 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal yang habis 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama habis 1 April 2022, PT Adaro Indonesia habis 1 Oktober 2022, PT Kideco Yaja Agung habis 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal yang habis pada 26 April 2025. 1 Hal ini memperkuat asumsi publik yang mengatakan UU ini adalah titipan perusahaan. Terlebih aturan ini disahkan secara terburu-buru di tengah pandemi.

Pengusaha tambang merangkap politisi tidak asing ditemui di dunia pertambangan. Di antaranya ada Menteri Luhut Binsar Panjaitan, sosok pengusaha tambang besar yang mendapat jatah menteri hingga dua periode kepimpinan Jokowi. Mengutip CNN Indonesia, Luhut mengakui memiliki lahan batubara seluas 6.000 hektare.2 Sosok politisi lain adalah Abu Rizal Bakrie, mantan menteri Koordinator Perekonomian era SBY dan juga mantan Ketua Umum Partai Golkar. PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal-perusahaan yang kontraknya akan segera berakhir- dimiliki oleh keluarga Bakrie. Kedua sosok tersebut merupakan potret kecil yang menunjukkan keterkaitan antara bisnis tambang dengan politik.

Pemerintah juga memberikan keistimewaan bagi perusahaan tambang yang sudah berusia atau beroperasi selama 30 tahun. Bentuknya adalah perpanjangan selama 10 tahun ‘setiap kali’ mengajukan permohonan izin. Syaratnya pun relatif ‘mudah’ yakni melakukan pemurnian tambang perusahaan bisa mengantongi izin berlipat ganda tersebut. Padahal pemurnian tambang yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk tersebut telah di atur oleh UU yang lama dan peraturan turunan lainnya. Artinya, pemerintah mensyaratkan sesuatu yang wajib dilakukan oleh badan usaha.

Di sisi lain, UU Minerba baru seharusnya mampu mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak maksimal dalam melaksanakan pemurnian tambang. Penertiban mengenai hal tersebut seharusnya diatur pada UU yang baru, mengingat selama 11 tahun UU lama telah mensosialisasikan kewajiban pemurnian. Namun regulasi yang ada justru tidak mencantumkan sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan itu. Dalam UU yang lama, pemurnian paling lambat 5 tahun sejak terbitnya undang-undang. Seharusnya semua korporasi tambang yang sebelumnya telah beroperasi, sudah harus melakukan pemurnian paling lambat pada 2014. Akan tetapi pada 2020, melalui UU baru, pemerintah justru memberikan insentif dengan menjadikan pemurnian sebagai syarat untuk mendapat izin tambahan.

Meskipun menaikkan besaran denda, namun UU Minerba baru malah melonggarkan hukuman pidana. Denda yang sebelumnya ditetapkan 10 miliar kini naik menjadi 100 miliar. Akan tetapi, sanksi pidana pada UU baru justru dikurangi dari 10 tahun menjadi 5 tahun. Dapat dilihat dengan membandingkan pasal 158, 159, dan 161 pada kedua UU. Sulit menerjemahkan posisi pemerintah dalam konteks penegakan hukum pada salah satu sektor penyumbang terbesar pendapatan negara ini.

Selain itu, UU Minerba baru juga menghapus pasal 165 yang mengatur sanksi bagi pihak yang mengeluarkan perizinan. Padahal pasal tersebut mengatur hukuman pidana selama 2 tahun, dan denda sebesar Rp200.000.000 bagi pihak yang menyalahgunakan kewenangannya dalam mengeluarkan izin pertambangan. Ini menimbulkan tanda tanya besar karena berpotensi membiarkan korupsi demi kelancaran investasi pertambangan.

Minim Semangat Keterbukaan Kontrak

Selain berkolerasi dengan RUU Cipta Kerja, UU Minerba bertabrakan dengan semangat UU Keterbukaan Informasi Publik seperti keterbukaan kontrak dan perizinan. Seharusnya aturan ini membawa semangat keterbukaan informasi. Selama ini, dokumen kontrak pertambangan sulit diakses oleh publik. Persoalannya, aturan ini sama sekali tidak menyinggung maupun menghubungkan dengan keterbukaan informasi. Belum lagi persoalan status IUPK yang semakin menutup celah keterbukaan. Sebab UU baru memayungi perpanjangan perizinan yang sebelumnya tidak diatur regulasi di sektor ini. Padahal setiap kontrak terdapat perjanjian tenggat waktu, sehingga pemerintah dapat melihat bagaimana komitmen dan kepatuhan badan usaha.

Habisnya sebuah kontrak seharusnya bisa menjadi evaluasi antara pemerintah dan badan usaha. Dari situ pemerintah dapat meninjau kembali mana saja yang harus ditingkatkan, diperbaiki, atau justru diberikan sanksi atau efek jera bagi perusahaan yang ternyata melanggar kesepakatan. Perpanjangan otomatis akan menyulitkan pemerintah dan publik mengevaluasi badan usaha. Seharusnya setiap perizinan memiliki berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan lama maupun persahaan baru untuk memulai atau melanjutkan operasi. Apalagi pemerintah tidak menuliskan akan ada peraturan turunan mengenai syarat-syarat dari perpanjangan otomatis tersebut.

Selain itu, prinsip keterbukaan dan partisipasi kembali dikerdilkan dalam UU Minerba terkait keberadaan pasal karet yang rawan mengkriminalisasi warga. Pasal 136 ayat 2 mengatur hukuman pidana 1 tahun dan denda sebesar Rp100.000.000 bagi ‘setiap orang’ yang menganggu kegiatan usaha pertambangan. Potensi kriminalisasi tersebut didasari dari data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang mencatat selama 2014-2019 terdapat 71 kasus yang melibatkan masyarakat, perusahaan tambang, dan pemerintah.3 Di antaranya warga di Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara yang dilaporkan oleh perusahaan karena menghalang alat berat masuk ke pulau serta warga Kabupaten Indramayu yang melakukan aksi menolak PLTU di wilayahnya juga turut diperkarakan.4 Oleh sebab itu pasal ini sangat mudah menggelincirkan rakyat yang berani bersuara untuk keadilan tambang, terlebih bagi masyarakat yang terdampak.

Pemerintah perlu belajar dari Orde Baru bahwa deregulasi tanpa dibarengi mekanisme transparansi dan akuntabitas dapat berujung pada kegagalan. Pada masa itu, deregulasi untuk pertumbuhan ekonomi gagal karena keropos dalam menegakkan keadilan hukum. Akibatnya aliran uang haram termasuk korupsi merajelela di era tersebut, dan orde baru berakhir karena krisis ekonomi dan politik.

Negara perlu memahami pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas dalam menciptakan iklim investasi pada sektor pertambangan. Terlebih jika melihat kemiskinan di wilayah sekitar tambang yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menyalurkan manfaat sektor ini. Pada intinya, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola tambang secara holistik. Tidak hanya bagi penerimaan negara, namun juga bagi masyarakat dan lingkungan. Harapannya di kemudian hari negara mampu mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.

  1. Anisatul Usamah. (2020). ESDM: Baru Arutmin Ajukan Perpanjangan Kontrak Tambang. (Februari 12, 2020). (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200212203433-4-137463/esdm-baru-arutmin-ajukan-perpanjangan-kontrak-tambang)
  2. Tanpa Nama. (2019). Luhut Akui Kuasasi Lahan Negara 6 Ribu Hektare untuk Batubara. (Februari 26, 2020). (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190226133724-32-372710/luhut-akui-kuasai-lahan-negara-6-ribu-hektare-untuk-batu-bara)
  3. Komnas HAM RI. (2020). Komnas HAM Desak Penyelesaian Konflik Pertambangan (https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/1/7/1299/komnas-ham-desak-penyelesaian-konflik-pertambangan.html)
  4. Fadiyah Alaydrus. (2020). Pasal yang Sering Jadi Alat Kriminalisasi Tambang. (Januari 6, 2020). (https://tirto.id/jatam-pasal-yang-sering-jadi-alat-kriminalisasi-penolak-tambang-eqXK)