Pemerintahan yang terbuka akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, serta mendorong terwujudnya birokrasi yang bersih dan melayani pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, keterbukaan informasi dan data-data pembangunan yang valid, lengkap dan akurat serta terintegrasi sangat diperlukan sebagai salah satu instrumen penting dalam mencapai pemerintahan yang terbuka dan informatif. Melalui keterbukaan, akuntabilitas pengelolaan pemerintahan dapat terlaksana dengan baik.

Urgensi kebijakan satu data sebenarnya telah disadari oleh pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah. Hal tersebut semakin dipertegas dengan terbitnya Peraturan Presiden No.39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Sebelum munculnya perpres ini, beberapa pemerintah provinsi di Indonesia sudah memulai inisiatif menjalankan kebijakan satu data, di antaranya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). 

Satu Data dan Pemerintahan Berbasis Elektronik

Pada diskusi publik bertema “Implementasi Satu Data dalam Mendorong Praktik Pemerintahan yang Terbuka” yang dilaksanakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia pada akhir Februari lalu, hadir perwakilan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Aceh untuk berbagi cerita tentang implementasi Satu Data di provinsi mereka masing-masing. Keduanya cukup antusias menceritakan kondisi kebijakan satu data serta teknologi informasi dan komunikasi di provinsinya masing-masing. Terlebih Provinsi NTB yang pada akhir tahun 2019 lalu mendapat penghargaan sebagai provinsi yang informatif dari Komisi Informasi. 

Yasrul, Kepala Bidang Pengelolaan TIK Provinsi NTB, menyatakan bahwa “satu data itu sebagai sebuah kebutuhan sekaligus tuntutan. Data yang akurat merupakan komponen penting untuk menentukan perencanaan, terlebih di era globalisasi data yang masuk berlimpah. Satu data merupakan solusi untuk memberikan data yang kualitas dan valid serta dapat dipegang oleh masyarakat” tandas Yasrul. 

Sementara itu, Hendri Dermawan, Kepala Bidang Layanan E-Government Provinsi Aceh, turut menambahkan bahwa “layanan pemerintah berbasis elektronik merupakan sebuah tuntutan dan keharusan, dimana untuk memperluas pelayanan pemerintah kepada masyarakatnya, maka layanan tidak bisa lagi hanya berdasarkan waktu kerja pukul 08.00-17.00 akan tetapi seharusnya dapat melayani selama 24 jam. Caranya yakni melalui sistem online, dimana masyarakat bisa mengurus perizinan di atas pukul 17.00” ungkapnya. 

Salah satu komponen penting untuk mewujudkan Satu Data adalah proses pengintegrasian data dari sekian banyak Organisasi Perangkat Daerah (OPD)/Instansi yang kemudian akan divalidasi sampai akhirnya dipublikasi kepada masyarakat. Berkatan dengan hal ini, Pemerintah Provinsi Aceh tercatat telah melakukan proses pengintegrasian data sampai pada tingkat desa/gampong.

Hendri menjelaskan bahwa “tujuan integrasi ini adalah untuk memaksimalkan pemanfaatan anggaran secara efisien dan efektif, karena di Aceh terdapat 1.400-an desa yang artinya ada sejumlah milyar rupiah dana yang dikelola oleh desa. Hal itu membuat pemerintah provinsi berpikir, jangan sampai dana sebanyak itu hanya digunakan untuk membuat aplikasi-aplikasi yang tidak berkelanjutan.” Ujar Hendri.

Kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa terhadap teknologi dan informasi juga masih terbatas dan belum optimal, sehingga lebih baik memanfaatkan aplikasi yang terintegrasi dari pusat dan daerah. “Integrasi data sampai tingkat gampong dengan menggunakan aplikasi menjadi solusi untuk efisiensi implementasi program bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin, yakni meniadakan surat keterangan miskin bodong, yang selama ini menjadi tantangan dalam implementasi program-program pemerintah. Hal ini disebabkan data NIK masyarakat miskin telah diintegrasikan ke sistem informasi desa, sehingga kepala desa bisa mengetahui jejak masyarakat yang sudah atau belum mendapatkan bantuan melalui NIK di aplikasi” tegas Hendri. 

Hendri juga menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh juga memiliki kendala dan tantangan dimana sebanyak 120 puskesmas dari 233 kecamatan hanya memiliki akses 2G sehingga pemerintah perlu memfasilitasi internet berbasis visat agar proses integrasi data sampai level gampong lebih optimal.

Satu Data dan Perbaikan Layanan Publik

Pemerintah Provinsi NTB dan Aceh dalam diskusi tersebut mengenalkan beberapa aplikasi layanan publik yang selama ini digunakan di masing-masing provinsi. Di NTB misalnya ada NTB Care, sebuah aplikasi yang bertujuan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melayangkan pengaduan secara online. Yasrul menyampaikan bahwa ”keluhan yang paling banyak masuk dalam NTB Care adalah terkait infrastruktur, misalnya masyarakat yang mengeluhkan jalan di daerahnya belum tertutupi aspal atau kesulitan mengakses listrik, dan lainnya”. Yasrul juga menambahkan bahwa “cara pemerintah merespon masyarakat yakni jangan sampai didiamkan karena hal itu mencerminkan kebijakan pemerintah. Meskipun dalam upaya merespon masyarakat, pemerintah provinsi memiliki kendala tersendiri dalam menyortir dan memverifikasi pengaduan yang dapat mereka tindaklanjuti, karena jumlah pengaduan yang masuk mencapai ribuan serta perlu mencari jawaban yang bersifat menenangkan masyarakat” tegasnya.

Pemerintah Provinsi Aceh juga memiliki aplikasi untuk melayani masyarakat yakni HABA. Hendri menjelaskan bahwa “salah satu manfaat HABA yakni menjadi salah satu solusi untuk menjawab keluhan masyarakat khususnya masyarakat Pulau Weh terkait jadwal kapal, yakni mengintegrasikan data online dinas perhubungan terkait jadwal kapal dalam HABA. Sejak diintegrasikan, keluhan dari masyarakat berkurang” ungkap Hendri.

Diakhir diskusi, keduanya juga turut menyampaikan masukan untuk pemerintah pusat terkait satu data. Yasrul menyampaikan selama ini banyak aplikasi dari pusat yang seolah-olah turun dari langit. Akhirnya daerah hanya dijadikan seperti operational entry saja, padahal daerah juga butuh mengakses lebih luas data dari aplikasi tersebut. Namun tidak semua aplikasi menyediakan webservice-nya. Sementara menurut Hendri, pemerintah pusat seharusnya bisa mengadopsi aplikasi yang dibuat di daerah, karena daerah lebih update dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya.

Implementasi satu data masih terus diupayakan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam rangka mengintegrasikan program pusat-daerah. Dalam mencapai visi tersebut, kita bisa melihat dari inisiatif-inisiatif yang sudah banyak di lakukan di daerah, sehingga hal tersebut diharapkan dapat menjadi akselerator yang akan mendorong lahirnya praktik-praktik baik lainnya demi keberlanjutan pembangunan Indonesia kedepannya. (ML/WC)