KPK memperkirakan potensi kerugian negara bisa mencapai US$ 677 juta atau sekitar Rp 9,02 triliun.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya dugaan tindak korupsi dari kegiatan ekspor batubara yang terjadi 2015 lalu. Penyebabnya adalah adanya selisih volume ekspor batubara antara Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai yang bisa menimbulkan potensi kerugian negara.
Ketua Tim Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam KPK Dian Patria mengatakan pada 2015 lalu, Bea Cukai mencatat ekspor batubara hanya 390 juta ton. Sementara data Kementerian Perdagangan hanya 349 juta ton.
Dengan adanya selisih tersebut, KPK memperkirakan potensi kerugian negara bisa mencapai US$ 677 juta atau sekitar Rp 9,02 triliun. “Bisa jadi di balik anomali tadi ada tindak korupsi. Cuma tantangannya itu suapnya dan izin sudah lama cari buktinya sudah tidak mudah,” kata dia di Jakarta, Senin (31/7).
Perbedaan data tersebut memang bukan hanya sekali terjadi. Menurut Dian pada 2010 juga terjadi perbedaan data volume ekspor batubara antara Kementerian ESDM dan data dari World Coal Institute (WCI).
Data WCI menyebutkan ekspor batubara Indonesia pada 2010 sebesar 298 juta ton. Sedangkan Kementerian ESDM mengklaim data ekspor pada tahun tersebut hanya sebesar 166 juta ton. Artinya ada selisih sebesar 132 juta ton.
Tidak berhenti sampai situ, Dian mengatakan KPK saat ini masih terus menelusuri data-data ekspor batubara dari dua instansi tersebut selama tiga tahun terakhir. Bahkan untuk data 2016 dan 2017 juga masuk dalam penelusuran tersebut. Hanya sampai saat ini belum bisa dibuka ke publik.
Untuk menghindari anomali-anomali tersebut, KPK meminta agar kementerian lembaga menyeragamkan pencatatan. “Kalau saya lihat ini data sekarang masih masing-masing antara ESDM, Kemendag dan Bea Cukai juga. Jadi tidak inline,” kata Dian.
Selain itu, KPK tengah mendorong adanya satuan tugas (satgas) untuk menertibkan dan tidak sembarangan memberikan izin ekpor kepada pengusaha tambang. Apalagi izin tersebut diberikan kepada pengusaha tambang yang belum bersih dari masalah.
Jika tidak ada pengawasan itu maka perusahaan tambang yang belum bebas masalah bisa mengantongi izin ekspor dari oknum tertentu pada suatu lembaga terkait. Salah satu contohnya adalah pemberian izin ekspor ke pengusaha tambang yang berada di kawasan hutan konservasi.
Seharusnya mereka tidak bisa mendapat izin oleh kementerian terkait dan hal itu bisa ditertibkan oleh satuan tugas. “Soalnya ini bisa berpotensi korupsi,” kata Dian.
Sengkarut pengelolaan batubara ini juga mendapat perhatian dari lembaga Publish What Your Pay (PWYP) Indonesia. Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah mengatakan pemberian izin ekspor batubara memang terlihat melonjak dalam kurun waktu 2001 hingga 2010.
Perizinan batubara yang semula pada 2001 hanya sebanyak 750 izin meningkat drastis menjadi 10 ribuan izin pada 2010. Masifnya pemberian izin tambang batubara ini akibat tidak sinkronnya kebijakan masa transisi dari yang sebelumnya dari pemerintah pusat berganti menjadi otonomi daerah.
(Baca: Harga Batubara Membaik, Laba Bukit Asam Melejit 242%)
“Ini menjadi tatangan kita, bagaimana caranya kita bisa menertibkan izin dan mengendalikan laju produksi,” kata Maryati.
Sumber: Katadata