Oleh: Askhalani

Aceh merupakan salah satu daerah yang kaya akan cadangan sumber daya alam (SDA) khususnya sektor pertambangan mineral dan batubara yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Besarnya cadangan potensi kekayaan alam tersebut merupakan salah satu modal untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Aceh. Syaratnya pemerintah harus mampu mengelola SDA tersebut secara mandiri dengan mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola tambang yang baik (good mining practices) meliputi prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum, dan berbasis pada pelestarian lingkungan berkelanjutan.

Sebelum diberlakukannya Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/Instr/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh, jumlah IUP pada tahun 2007-2011 yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota mencapai 134 IUP yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota di Aceh, dengan luas total wilayah konsesi usaha pertambangan mencapai 672.540,27 Ha. Jumlah ini semakin meningkat tajam pada tahun 2012 yaitu menjadi 138 IUP yang meliputi 16 Kabupaten/Kota dengan total kawasan hutan yang terindikasi izin naik menjadi 841.648,31 Ha.

Dari total luasan wilayah hutan tersebut, terindikasi ada 4 (empat) perusahaan yang IUP nya berada dalam kawasan hutan konservasi seluas 31.316,12 Ha dan 65 Perusahaan IUP yang berada dalam kawasan hutan lindung seluas 399.959,76 Ha.

Banyaknya penerbitan IUP secara langsung oleh Bupati/Walikota sebelum berlakunya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ternyata tidak dibarengi dengan pengelolaan pertambangan yang baik dan efektif, sehingga dalam perjalanannya cukup banyak permasalahan atas tata kelola dan menyumbang dampak negatif pada masyarakat sekitar dan lingkungan.

Adapun permasalahan yang sering muncul terkait tata kelola pertambangan di Aceh adalah, pertama, adanya kecendrungan meningkatnya konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan tambang; kedua, mekanisme pemberian izin yang selama ini dilakukan oleh Pemda tidak mengacu pada RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota serta meninggalkan azas tata kelola perizinan yang baik;

Ketiga, Adanya dugaan tumpang tindih perizinan, alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan yang cukup tinggi; Keempat, terbatasnya kapasitas sumber daya aparatur pemerintah khususnya tentang keberadaan inspektur tambang;  Kelima, adanya dugaan pungutan ilegal di daerah di luar mekanisme aturan perundangan; Keenam, keterlambatan pembayaran/penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara dan kas daerah oleh perusahaan yang telah mengantongi izin; Ketujuh, rendahnya kepatuhan Pemilik IUP dalam melaksanakan kewajiban perusahaan; serta Kedelapan rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola yang berpotensi menimbulkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan.

Berangkat dari banyaknya persoalan diatas serta temuan hasil korsup KPK tahun 2014-2015 atas tata kelola pertambangan, sudah cukup wajar bagi Pemerintah Aceh untuk mencari alternatif dalam rangka pembenahan tata kelola pertambangan. Kebijakan berupa Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/Instr/2014 Tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Aceh menjadi salah satu kebijakan non populis tapi dapat memberi efek yang sangat baik dalam mendorong upaya perbaikan tata kelola pertambangan di Aceh.

Peluang Perbaikan Tata Kelola

Kebijakan untuk memperpanjang pelaksanaan moratorium tambang di Aceh yang akan berakhir pada tanggal 30 oktober 2016 dianggap sebagai peluang untuk melakukan perbaikan tata kelola pertambangan agar memberikan manfaat bagi masyarakat, melindungi lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan melalui tata kelola yang strategis, terkoordinir dan terpadu.

Apalagi hasil temuan menunjukkan dugaan bahwa pemberian IUP banyak diterbitkan pada tahun 2010-2012, ketika akan berakhirnya masa kepemimpinan Kepala Daerah dan menjelang suksesi pemilihan pimpinan daerah (pemilukada). Hal ini memperkuat dugaan bahwa pemberian IUP yang terjadi pada masa itu lebih bernuansa pada pemenuhan kepentingan pragmatis ekonomi-politik dengan mengabaikan prinsip-prinsip good minning practices.

Hasil kajian atas efektivitas pelaksanaan moratorium tambang di Aceh selama kurun waktu 2014-2016 telah memberikan dampak yang cukup baik dalam mendorong upaya perbaikan tata kelola pertambangan.  Hal ini  menjadi salah satu champion yang berhasil di tingkat nasional dan bahkan menjadi role model dalam menerapkan tata kelola pertambangan yang baik. Di sisi lain Aceh menjadi salah satu Provinsi di Indonesia yang berhasil mengurangi jumlah IUP yang berada di kawasan baik hutan konservasi maupun hutan lindung. Saat ini jumlah IUP berkurang signifikan dari total 138 IUP di 2014 menjadi 46 IUP di 2016. Karena moratorium tambang, pemerintah Aceh berhasil menyelamatkan kawasan hutan baik hutan konservasi maupun hutan lindung dengan total 265,743,70 Ha

Sebelumnya berdasarkan hasil kajian koordinasi dan supervisi (korsup) KPK untuk Aceh setidaknya ditemukan beberapa permasalahan terhadap evaluasi IUP.  Pertama, ada sebanyak 4 IUP masuk dalam kawasan hutan konservasi dengan total seluas 31.316 Ha. Ini meliputi wilayah kabupaten Aceh Tengah seluas 31 ribu Ha; Gayo Lues 198 Ha dan Aceh Selatan 87 Ha.

Sedangkan di kawasan hutan lindung tercatat total 399.959 Ha meliputi 65 IUP/KK, padahal secara aturan hukum ini jelas-jelas melanggar pasal 38 ayat (1) UU 41/1999 jo. UU 19/2004.

Kedua ditemukan masih banyaknya IUP yang belum clear and clean (CNC), dari total 138 IUP (per tahun 2014), 84 IUP atau 61% belum Clear and Clean (CNC), sisanya sebanyak 54 sudah mendapatkan CNC, Ketiga ditemukan dugaan piutang negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per tahun 2014 sebesar Rp 10,8 Milyar dan naik secara sifnifikan tahun 2015 sebesar Rp 24,7 Milyar.

Berangkat dari banyaknya masalah yang belum terselesaikan terkait persoalan tata kelola tambang, maka sudah seharusnya Pemerintah Aceh untuk kembali melanjutkan moratorium tambang yang sebelumnya sudah dilaksanakan. Ini akan mendorong tata kelola pemerintah yang tertib dan taat azas hukum, dan ini sekaligus akan memberi manfaat yang sangat besar dalam menyelematkan hutan dari kerusakan lingkungan. Hal ini merupakan langkah nyata yang perlu mendapat dukungan semua pihak untuk terus melanjutkan moratorium tambang. Semoga!

*Askhalani adalah Direktur Gerakan Anti Korupsi Aceh (GeRAK)