JAKARTA, KOMPAS.com – Batas waktu evaluasi izin usaha pertambangan mineral dan batubara (IUP Minerba) oleh Pemerintah Provinsi telah berakhir padar 2 Januari 2017 lalu.

Setelah periode tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 43/2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, maka IUP yang berstatus non-Clean and Clear (Non-CnC) harus dicabut atau diakhirkan.

Evaluasi ribuan IUP minerba tersebut meliputi aspek administratif, kewilayahan, teknis dan lingkungan serta kewajiban finansial.

Manajer Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menyatakan, pihaknya mendesak Gubernur di seluruh Indonesia untuk segera mengambil tindakan tegas atas status IUP yang berstatus Non-CnC di wilayahnya masing-masing.

Tindakan tegas tersebut, lanjut dia, adalah dengan mencabut izin-izin yang non-CnC dan mengembalikan status lahannya sesuai dengan kebijakan peruntukan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, apalagi jika izin tersebut berada dalam kawasan hutan.

“Proses penertiban IUP non-CnC ini harus ada ujungnya, tidak boleh lagi berlarut-larut, terlebih lagi telah ada keterlibatan KPK dalam monitoring dan supervisi dari proses rekonsiliasi dan evaluasi IUP ini sejak tiga tahun lalu,” ujar Aryanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/1/2016).

Sebelumnya, Menteri ESDM, Ignasius Jonan menyebutkan IUP yang telah dinyatakan lolos evaluasi atau berstatus Clean and Clear (CnC) mencapai 6.335 IUP dari total sebanyak 9.721 IUP, sehingga masih terdapat 3.386 IUP berstatus Non-CnC.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah menegaskan, apabila Gubernur tidak melakukan pencabutan IUP Non-CnC, Kementerian ESDM harus menggunakan kewenangannya untuk melakukan pencabutan.

Hal itu telah diatur dalam pasal 152 Undang-Undang nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba (UU Minerba).

Maryati juga merekomendasikan kepada Kementerian ESDM untuk berkoordinasi dengan Kementerian atau Lembaga lain seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Koordinasi ini terkait kewajiban lingkungan, finansial dan perpajakan pelaku industri pertambangan.

Koordinator Pokja-30 Kalimantan Timur, Carolus Tuah menyampaikan, kepala daerah yang telah melakukan pencabutan IUP Non-CnC juga harus transparan dan terbuka kepada publik, yakni mana IUP yang dicabut dan mana yang telah berstatus CnC.

Transparansi dilakukan agar masyarakat dapat memantau apakah izin-izin pertambangan tersebut melanggar hak-hak masyarakat atau tidak.

Kewajiban Perusahaan Tetap Harus Ditagih

Manajer Program Tata Kelola Batubara PWYP Indonesia, Agung Budiono mengingatkan, bahwa pencabutan IUP Non CnC tidak menghilangkan kewajiban perusahaan yang belum dilaksanakan.

“Pemerintah harus tetap menagih baik kewajiban keuangan maupun lingkungan perusahaan yang belum diselesaikan seperti pajak, PNBP maupun pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang, kendati IUP-nya sudah dicabut,” tegasnya.

Temuan Korsup Minerba KPK menyebutkan sebanyak 6,3 juta hektar tambang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Selain itu, masih terdapat piutang PNBP sebesar Rp 26,2 triliun dimana 21,8 berupa DHPB atau Royalti dari 5 (lima) Perusahaan PKP2B Generasi I dan sisanya Rp 4,3 triliun dari PKP2B, KK dan IUP.

Temuan lain, sebanyak 75 persen IUP tak membayar jaminan reklamasi dan pasca tambang.

“Pemerintah harus memastikan penyelesaian kewajiban perusahaan-perusahaan tambang tersebut secara transparan karena menyangkut kerugian negara dan kerugian lingkungan hidup,” pungkas Agung.

Sumber: bisniskeuangan.kompas.com