Indonesia, negara yang sebelumnya membatasi arus informasi yang bebas sebagai konsekuensi kediktatoran 32 tahun, kini telah mencapai era keterbukaan. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik disahkan pada tahun 2008 dan sejak itu, hak warga negara Indonesia terhadap akses informasi publik dijamin, termasuk informasi yang sebelumnya dirahasiakan.

Indonesia juga telah mengadopsi inisiatif global untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam industri ekstraktif melalui Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Indonesia bahkan dideklarasikan sebagai negara ASEAN ‘Patuh EITI’ pertama. Lebih jauh, Indonesia juga mendukung inisiatif Open Data dengan menyediakan data yang dapat diakses, digunakan, dan dibaca mesin dalam platform data yang disebut “data.id”. Tetapi, seperti yang biasa terjadi di negara berkembang, pemanfaatan data di Indonesia masih rendah karena orang belum menyadari manfaatnya.

Dengan menggunakan momentum ini, dua bulan lalu Publish What You Pay Indonesia, koalisi organisasi masyarakat sipil (OMS) yang berfokus pada transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif, mengadakan acara peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kesadaran tentang pemanfaatan data untuk kerja advokasi, terutama di sektor ekstraktif. Hal ini dilakukan dengan berbagi lima keterampilan bekerja dengan data, termasuk metode yang efektif dan akurat untuk menemukan dan mendapatkan data, prosedur pembersihan data yang berantakan, alat untuk menganalisis data, prinsip-prinsip visualisasi data dan kisah sukses berbasis data advokasi. Sekitar 25 orang yang mewakili OMS di seluruh Indonesia, berpartisipasi dalam pelatihan selama dua hari ini. Mereka tidak hanya menikmati pelatihan, melainkan juga mengajukan banyak pertanyaan menarik tentang bagaimana penggunaan data dapat benar-benar meningkatkan kerja advokasi.

Terakhir, ada beberapa berita menarik tentang penggunaan data dari seluruh Indonesia. Masyarakat adat Talang Mamak, yang tinggal di dekat lokasi ekstraktif di hutan hujan tropis di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, Indonesia dapat memperoleh akses ke dokumen penilaian dampak lingkungan. Beberapa organisasi kini juga dapat mengakses dokumen yang menunjukkan pengeluaran daerah, sementara yang lain mendapatkan akses ke kompilasi izin pertambangan.

Selain itu, Publish What You Pay Indonesia, bersama dengan organisasi lain yang berfokus pada industri ekstraktif, bergabung dengan Koalisi Anti-Mafia di Pertambangan, telah berhasil membuat data jalur pipa dalam kerja advokasi yang berfokus pada peningkatan tata kelola pertambangan.

Dengan menggunakan data dari izin pertambangan dan pendapatan yang diperoleh dari berbagai kantor pemerintah, koalisi menghitung perbedaan antara berapa yang seharusnya dibayarkan dalam pendapatan pertambangan dan berapa yang secara riil telah dibayarkan. Temuan menunjukkan bahwa dalam empat tahun (2010-2013), Kalimantan kehilangan potensi pendapatan pertambangan sebesar US $ 47 juta.

Koalisi juga menunjukkan pekerjaan yang sangat baik dalam memvisualisasikan potensi yang hilang dengan menciptakan infografis yang menarik. Pemanfaatan data dalam kasus ini telah membantu koalisi memperkuat kerja advokasi mereka, terutama dalam rangka mendukung inisiatif Komisi Pemberantasan Korupsi yang kuat untuk mereformasi tata kelola di sektor pertambangan, minyak dan gas di 12 provinsi di Indonesia.

Open Data tidak bisa berdiri sendiri. Informasi yang dibagikan oleh pemerintah atau sumber lain tersebut masih perlu diproses, dianalisis, dan dikomunikasikan secara efektif kepada publik. Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil harus memainkan peran kunci ini untuk meningkatkan agenda advokasi. “Kami sangat senang melihat antusiasme CSO dalam mempromosikan pergerakan keterbukaan data di Indonesia. Platform Open Data yang telah dibentuk oleh pemerintah dapat terus ditingkatkan berkat keterlibatan aktif masyarakat sipil”, kata Mardijanto, Asisten Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dalam Lokakarya Nasional Transparansi dan Pemberantasan Korupsi di Sektor Minyak, Gas, dan Pertambangan yang diselenggarakan oleh Publish What You Pay Indonesia pada bulan Oktober.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa keterbukaan data bukanlah akhir. Ini hanya membuka peluang yang lebih besar sehingga masyarakat sipil perlu menggunakannya dengan bijak. Setidaknya untuk saat ini, gelombang pergerakan keterbukaan data telah mulai berdampak dan terus tumbuh.

Oleh Jensi Sartin dan Rizky Ananda