Perlu dua kali bagi Kamal, bukan nama sebenarnya, untuk datang ke lokasi galian C di Pemepek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah demi mendapatkan sejumlah informasi. Kamal tinggal di desa yang bertetangga dengan Desa Pemepek, Lombok Tengah. Pada kedatangan pertama sekitar November 2019, Kamal mesti berhadapan dengan sejumlah warga setempat. Mereka bertanya dengan curiga soal tujuan kedatangan Kamal.

“Saya memilih mundur karena terus terang agak takut,” kata Kamal.

Beberapa hari berselang, Kamal datang lagi. Kali ini dia meminta bantuan seorang kawannya, warga Desa Pemepek. Agar rencananya mulus, Kamal menyamar sebagai calon pembeli lokasi galian. Oleh warga setempat dia kemudian dipertemukan dengan sejumlah broker. Dengan cara ini Kamal berhasil mendapatkan sejumlah informasi mengenai kondisi pertambangan rakyat tersebut: siapa pemiliknya dan bagaimana izinnya.

“Banyak galian yang tidak dipasangi tanda,” kata Kamal.

Sejak dua tahun lalu, Kamal dan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi Nusa Tenggara Barat (Somasi NTB) mengadvokasi kegiatan pertambangan di sejumlah wilayah di provinsi tersebut. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB pada 2018 menyebutkan terdapat 261 izin usaha pertambangan di provinsi tersebut. Sebanyak 27 di antaranya merupakan izin tambang mineral logam dan sisanya merupakan izin tambang batuan. Aktivitas pertambangan ini mencapai 190 ribu hektar atau mencapai 10 persen dari luas daratan NTB.

Ada dua wilayah yang menjadi lokasi advokasi Somasi NTB. Kedua wilayah pemantauan ini tersebar di 22 titik dan dilakukan oleh tujuh orang warga setempat pada periode November 2019 hingga Februari 2020.

Wilayah pertama adalah pertambangan emas rakyat di Sekotong. Di Sekotong, kegiatan penambangan emas mencapai puncak kejayaannya antara 2008 hingga 2010. Koordinator Badan Pekerja Somasi NTB, Dwi Arie Santo, menuturkan bahwa regulasi yang membuat terjadinya “obral besar-besaran” aktivitas pertambangan. Pendapat Dwi Arie ini merujuk pada penerbitan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memindahkan kewenangan pertambangan kepada pemerintahan kabupaten/kota. Kini, pertambangan di Sekotong mulai meredup meskipun tak sepenuhnya hilang.

Wilayah kedua adalah tambang galian C di Desa Pemepek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Di Desa Pemepek, marak terjadi aktivitas pertambangan yang mengangkut pasir, batu, dan kerikil secara ilegal. Kepolisian Daerah NTB sebenarnya sudah menetapkan beberapa tersangka untuk kasus penambangan ilegal ini. Namun, hingga hari ini praktik tersebut masih terus terjadi. Karena itulah Kamal bersama Somasi NTB mendorong agar pemerintah membuka data-data pertambangan di provinsi tersebut.

Tentu saja tak mudah mengawasi aktivitas pertambangan di daerah tersebut. Penyebabnya, menurut Dwi Arie, warga setempat menerima manfaat ekonomi dari kehadiran tambang-tambang itu. Sehingga, mereka juga berkepentingan agar lokasi tambang itu tak ditutup. Itulah sebabnya warga di sana mengawasi secara ketat siapa saja yang masuk ke wilayah mereka.

Situasi ini membuat Dwi dan kawan-kawannya mesti menempuh berbagai cara untuk mendapatkan informasi tentang aktivitas tambang ini. Ada yang berpura-pura menjadi pembeli hasil tambang, mencari lokasi untuk kegiatan balapan off-road, hingga beralasan salah jalan. “Saya misalnya menyamar sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan tesis,” kata Dwi Arie. Ketika sudah tiba di lokasi pertambangan, mereka berpura-pura menelepon supaya bisa diam-diam mendokumentasikan lokasi tambang.

Selain sulitnya mendapatkan informasi, organisasi yang mengadvokasi pertambangan pun tak putus dirundung teror. Pada Januari 2019, misalnya, rumah Direktur Eksekutif Walhi NTB, Murdani, dibakar orang tak dikenal. Insiden ini punya dampak pada warga di sekitar lokasi tambang yang biasa menjadi sumber informasi.

Dwi Arie mengatakan mereka menjadi ketakutan setelah teror tersebut. Apalagi, teror pembakaran ini diduga masih terkait dengan sikap kritis Walhi atas pertambangan ilegal di Lombok. Masyarakat yang menjadi mitra Somasi NTB dan terlibat dalam pemantauan aktivitas tambang juga mulai ditanya-tanyai oleh warga lain yang diduga terkait dengan jaringan pemilik aktivitas tambang.

“Mereka ketakutan,” kata Dwi Arie.

Meski memberi manfaat ekonomi, tapi aktivitas pertambangan berpotensi merusak lingkungan. Dan rusaknya lingkungan punya ongkos ekonomi yang sebenarnya jauh lebih besar. Di Pemepek misalnya, pada pekan kedua September lalu masyarakat setempat berunjuk rasa mengenai masalah krisis air bersih.
Padahal, menurut Dwi Arie, warga di Pemepek selama ini tak pernah mengalami masalah air. Namun sejak beberapa waktu terakhir, air yang mereka terima di sepanjang aliran sungai warnanya menjadi keruh kecokelatan. Kerusakan ini, kata Dwi Arie, belum termasuk dampak sosial lainnya seperti tingginya angka kecelakaan akibat lalu lintas truk pengangkut pasir.

Untuk menindaklanjuti pengawasan ini, Somasi NTB menggelar sejumlah pertemuan sejak akhir Desember 2019 hingga Januari 2020. Pertemuan ini digelar demi membantu warga dalam proses pelaporan. Menurut Dwi Arie, mereka ingin agar laporan pemantauan itu disusun lebih terstruktur sebelum disampaikan ke pemerintah daerah. Sayangnya, tidak ada warga yang berani datang melapor. Maka untuk menyiasatinya, salah seorang pekerja Somasi NTB, Jamaludin, pada 23 Juni 2020 mewakili warga Desa Cendi Manik, Sekotong, untuk melapor melalui platform NTB Care. Aplikasi ini merupakan layanan aduan yang dibuat oleh Pemerintah NTB untuk menampung keluhan warga terkait permasalahan di provinsi tersebut.

Ada sejumlah isu yang mereka laporkan. Pertama, lokasi tambang di daerah itu dianggap rawan longsor sehingga membahayakan warga sekitar, merusak lahan pertanian, dan juga mencemari air di wilayah tersebut. Kedua, mereka meminta agar pemilik tambang memasang tanda di wilayah pertambangan. Tujuannya adalah agar warga setempat mengetahui siapa pemilik tambang, izin operasi dan berapa lama durasi pengerjaan tambang tersebut. Ketiga, mereka meminta agar pemerintah melibatkan warga dalam pengawasan kegiatan pertambangan. Keempat, mereka menyampaikan tidak adanya transparansi yang dipampang di dalam situs pemerintah daerah seperti amanat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Untungnya, kata Dwi Arie, respons pemerintah seperti yang mereka harapkan. Petugas administratur NTB Care berterima kasih atas laporan ini. Hanya saja, petugas meminta agar mereka menyampaikan data lebih lengkap. Dwi Arie tidak puas dengan tanggapan pemerintah. “Seharusnya mereka juga menjelaskan poin-poin lain yang kami laporkan,” kata Dwi Arie.