Sumber daya alam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap negara, dimana SDA menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di Kawasan Asia Pasifik. Namun buruknya tata kelola dan korupsi sistemik masih menjadi tantangan dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan. Hal ini disampaikan Jelson Garcia, Asia Pacific Director dari Natural Resource Governance Institute (NRGI) dalam Pertemuan masyarakat sipil se-Asia Pasifik yang bertajuk Mendorong Transparansi dan Gerakan Anti-Korupsi yang berlangsung di Jakarta, 21-22 Oktober lalu, tepat sebelum berlangsungnya Konferensi Global Transparansi Beneficial Ownership.

“Tujuh puluh delapan (78) negara berkontribusi terhadap besarnya produksi migas dan tembaga dunia. Di 2014, negara-negara tersebut mendapat penerimaan lebih dari USD 1.2 triliun, dengan kontribusi sebesar USD 109 milyar dari 19 negara kaya SDA di Asia Pasifik,” papar Jelson.

Wahyu Dhyatmika, Editor Tempo.co, yang menjadi narasumber diskusi memaparkan bagaimana Panama Papers di 2016 menyebut lebih dari 214.000 offshore entities juga 140 politisi dan pejabat publik. Di Indonesia salah satunya, Panama Papers mengungkap nama-nama pengusaha yang berkaitan dengan kasus impor minyak jenis Zatapi.

Di 2007 Pertamina mengimpor 600 ribu barel minyak jenis Zatapi senilai USD 58,6 juta. Berdasarkan analisis uji minyak mentah, impor minyak ini lebih mahal USD 11,72 per barel. Importir minyak zatapi adalah Gold Manor, yang dikontrol oleh 4 pengusaha Indonesia yang juga mengontrol perusahaan Global Energy Resources Pte. Ltd. Panama Papers mengungkap Gold Manor dan Global Energy Resources mempunyai alamat kantor yang sama di Singapura. Global Energy sendiri merupakan importir minyak utama di Indonesia selama bertahun-tahun dan mengontrol 33% impor minyak di Indonesia via Pertamina Energy Service Ltd, yang dimiliki oleh PETRAL.[1]

Wahyu menyampaikan berkaca pada Panama Papers, ketersediaan data struktur kepemilikan perusahaan masih terbatas. “Kami tidak bisa menangkap big picture kolusi antara kroni dan keluarga dari politically exposed person (PEP),” ungkap Wahyu.

Dyveke Rogan, Regional and Policy Director dari Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di sesi yang lain menegaskan pentingnya pengungkapan data beneficial ownership melalui EITI. “Mengakhiri anonimitas perusahaan merupakan kunci dalam melawan korupsi,” kata Dyveke.

Menurutnya, transparansi beneficial ownership bisa meningkatkan iklim investasi, mengurangi resiko keuangan, mencegah korupsi, dan aliran uang haram, serta meningkatkan penegakan hukum, dan meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas antara pemerintah dan pengusaha. “Yang perlu dipastikan adalah bagaimana agar pemerintah, perusahaan, dan publik memahami apa manfaat dari keterbukaan ini,” imbuhnya.

Banyak peran yang bisa diambil oleh jurnalis dan masyarakat sipil dalam mendorong transparansi di sektor ekstraktif. Jurnalis dan masyarakat sipil bisa berperan dalam menagih komitmen pemerintah, mendorong perusahaan untuk secara proaktif membuka data beneficial ownership mereka, serta menciptakan public demand dalam mengakses dan menggunakan data beneficial ownership. [AN]

 


[1] Pertamina Official Report, July 16, 2007.