Jakarta, CNN Indonesia — Kasus dugaan korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam menjadi pintu masuk untuk membuka kekisruhan tambang di Tanah Air. Selain aparat negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak menelusuri sektor swasta.
Perusahaan dinilai menjadi penting untuk ditelusuri. Hal tersebut berkaitan dengan dugaan nilai transaksi ilegal oleh sektor pertambangan selama ini.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menyatakan triliunan uang haram diduga mengalir setiap tahunnya pada sektor tambang. Ini gara-gara kurangnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan.
Berdasarkan kajian PWYP, kata Maryati, dugaan aliran uang haram sektor pertambangan mencapai Rp23,89 triliun pada 2014. Aliran uang haram itu, diperkirakan berasal dari transaksi perdagangan ilegal (misinvoicing trade) dan ‘uang panas’ pengelolaan sektor tambang.
“Persoalan mendasarnya itu ada pada mekanisme perizinan tambang itu sendiri,” kata Maryati beberapa waktu lalu.
Aliran uang panas, kata Maryati, berasal dari praktik pencucian uang, korupsi, pengemplangan pajak, dan transaksi ilegal. Khusus transaksi itu, PWYP menemukan praktik tersebut terjadi karena dugaan tidak dicatatnya transaksi bisnis.
Maryati, mengutip data KPK, menyatakan lembaga antikorupsi itu menemukan sekitar Rp28,5 triliun potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor minerba hilang pada 2014. Hal itu, kata dia, adalah akibat persoalan dari buruknya tata kelola perizinan tambang.
“Ini diduga terjadi karena maraknya tambang-tambang ilegal yang beroperasi dan kasus ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat,” ucap Maryati.
Masalah itu pun muncul terkait dengan kewenangan pusat dan daerah. Dia menuturkan desentralisasi kewenangan penertiban izin tambang pemerintah daerah tidak diiringi dengan koordinasi yang baik antara keduanya.
Salah satu contoh, Maryati mengatakan, masih banyak izin dan pemetaan kawasan tambang yang tumpang tindih dengan izin kehutanan. Tak hanya itu, namun juga dengan kawasan hutan lindung atau konservasi.
Berdasarkan hasil pemantauan bersama PWYP dan KPK, masih terdapat 3.982 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berstatus tidak clean and clear (CnC) dari total 10.348 IUP di Indonesia. Pemantauan itu dilakukan melalui upaya Koordinasi dan Supervisi KPK. Status CnC secara umum adalah izin itu tak tumpang tindih dengan izin kawasan lainnya dan sesuai dengan peraturan.
Hasil temuan tersebut menyatakan masih terdapat IUP yang diterbitkan pemerintah daerah yang tidak tercatat di Kementerian ESDM, namun justru direkomendasikan untuk mendapatkan status CnC ke provinsi. Lainnya, ada juga IUP yang berstatus CnC di Kementerian ESDM tapi tidak tercatat di Pemerintah Daerah.
Selain itu, PWYP pun menemukan banyaknya izin tambang yang sudah berakhir masa berlakunya namun belum dicabut. Tak sedikit pula, kata Maryati, IUP yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi.
“Berdasarkan Undang-Undang No 41Tahun 1999 tentang Kehutanan kan jelas kegiatan pertambangan hanya boleh dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung dengan melakukan underground mining,” kata Maryati.
Persoalan tak selesai di persoalan tumpang-tindih, namun juga dana jaminan reklamasi. Menurut Maryati, dari 10.348 IUP, hanya ada 1.138 perusahaan yang memenuhi kewajiban reklamasi dan pascatambang. Padahal, komitmen perusahaan terkait dana jaminan reklamasi dan pascatambang merupakan bagian persyaratan agar IUP bisa diterbitkan pemerintah.
Keterangan resmi Kementerian ESDM menyebutkan masih terdapat sekitar 75 persen IUP yang tidak menyetorkan jaminan reklamasi dan pascatambang dari 10.428 IUP.
Menjerat Korporasi
Ada upaya yang sudah dilakukan pemerintah. Kementerian ESDM sendiri memberikan sanksi pencabutan atas ketidakpatuhan perusahaan dalam menyampaikan laporan kegiatan pertambangan.
Terdapat sekitar 83 perusahaan telah dicabut izinnya dan sekitar 36 perusahaan sedang dalam proses pencabutan IUP.
Terkait dengan dugaan korupsi, perusahaan pun menjadi perlu menjadi bidikan KPK selanjutnya. Ketua KPK Agus Raharjo sebelumnya mengatakan dalam waktu dekat akan segera menetapkan korporasi sebagai pelaku korupsi.
Pemidanaan korporasi, kata Agus, dilatari oleh adanya modus individu sebagai dalang korupsi korporasi. Padahal, dia menilai, secara langsung korporasi juga merupakan penikmat utama dari korupsi yang dilakukan oleh individu tersebut.
Karena itu, Agus menyatakan, langkah pemidanaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi bertujuan agar entitas itu mengalami kebangkrutan sehingga ada efek jera.
“Jadi kalau korporasi mendapat keuntungan dari tindak pidana korupsi, mestinya korporasi juga harus bertanggung jawab, bukan hanya orang-orangnya,” ujar Agus.
Soal korporasi, tekanan pun datang dari organisasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Walhi mendesak KPK menjerat pelbagai perusahaan yang diduga terlibat dalam korupsi izin tambang di Sulawesi Tenggara.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid mengatakan perusahaan adalah pihak yang diuntungkan dalam izin tambang tersebut,
“Pejabat publik harus tetap ditindak, tapi KPK juga harus mampu menjerat korporasi yang ikut terlibat. Dari sini, perusahaan kan dibuat untung juga yang jelas-jelas merugikan negara,” kata Khalisah pada pekan lalu.
Korupsi pertambangan, tutur Khalisah, tak hanya terjadi akibat adanya pejabat publik yang lalai akan peraturan. Tetapi, sambungnya, juga karena perusahaan yang mencari celah hukum demi melancarkan usahanya. (asa)
Sumber berita: di sini