Sudah sepatutnya kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia. Jika diurutkan, Indonesia berada pada posisi kelima setelah Negara China, Amerika Serikat, India, dan Australia. Sumberdaya batubara Indonesia mencapai 99,2 miliar ton dengan memiliki cadangan sebesar 13,3 miliar ton yang tersebar dibagian wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Telah tercatat pada tahun 2012-2015 bahwa rata-rata produksi batubara mencapai lebih dari 400 juta ton pertahun. Meskipun demikian banyaknya sumberdaya batubara yang tersedia, sudah diprediksikan bahwa keberadaannya akan habis 29 tahun yang akan datang atau tepatnya pada tahun 2046 mendatang. (Agung Budiono dan Rizky Ananda W.S.R : 2017 : 5 )
Keberadaan sumber daya energi batubara yang begitu melimpah, sudah banyak sekali dilakukan pertambangan batubara diberbagai wilayah yang berpotensi memiliki energi batubara oleh sebagian golongan yang berkecimpung di ranah industri batubara. Industri batubara ini merupakan bisnis pertambangan batubara yang memakan lahan yang sangat luas dan tentunya tidak akan terlepas dari berbagai problematika yang ada di dalamnya selama proses pertambangan yang dilakukan, baik sebelum maupun sesudahnya. Lalu, apakah dengan melimpahnya keberadaan sumber daya batubara tersebut sudah memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat yang berada di tengah-tengah wilayah yang kaya akan sumberdaya batubara ini?
Memang benar keberadaan energi batubara sudah memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia secara tingkat Nasional, akan tetapi belum bisa mensejahterakan secara optimal bagi masyarakat Indonesia terutama bagi masyarakat terdampak yang hidup berdekatan dengan tempat produktifitas pertambangan tersebut. Kesejahteraan yang dimimpikan hanyalah untuk segelintir orang saja. Ada banyak hal-hal yang terjadi pada tiap-tiap pertambangan batubara yang dilakukan. Permasalahan-permasalahan tersebut ada dari hulu sampai ke hilir.
Permasalahan hulu dimulai pasca dilakukannya peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi (Otonomi Daerah) dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 75/2001. Lahirnya PP tersebut menyebabkan terjadinya ketidaksinkronan data izin pertambangan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pada tahun 2001 pemerintah pusat memiliki data izin tambang sebanyak 750an izin. Akan tetapi, setelah diberlakukannya desentralisasi, yang mana kewenangan izin tambang diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah baik ditingkat kota/kab, hal tersebut mengakibatkan melonjaknya izin tambang dengan mencapai angka 8.000an izin di tahun 2008. Angka tersebut terus meningkat dalam rentan waktu dari 2010-2014 dengan mencapai angka 10.900an lebih. (Agung Budiono dan Rizky Ananda W.S.R : 2017 : 2-4)
Melonjaknya jumlah izin pertambangan diindikasikan karena pemberian izin lahan untuk pertambangan di wilayah yang kaya sumber daya batubara selalu dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), sehingga diduga izin pertambangan yang diberikan oleh kepala daerah kepada pelaku usaha banyak disertai dengan imbal jasa dalam bentuk suap atau gratifikasi. Dalam hal ini pun banyak dilakukannya lobi-lobi terlebih dahulu dari tingkat RT, kepala desa/ lurah sampai ketingkat camat. Jika aktor-aktor ini sudah terkendali oleh perusahaan maka perusahaan akan membayar mereka untuk melancarkan jalannya. Dengan cara inilah para perusahaan tambang bisa lebih cepat untuk melakukan produksi pertambangannya.
Akibat dari lahirnya ribuan izin pertambangan tanpa terkendali oleh penyelenggara Negara, banyak sekali izin tambang yang tumpang tindih baik sesama komoditas dengan komoditas lain, maupun tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. keberadaan perusahaan yang diragukan seperti alamat yang tidak jelas, kecukupan modal yang dipertanyakan, serta status IUP Eksplorasi dan Operasi Produksi yang dikeluarkan tanpa adanya komitmen pengalokasian dana reklamasi pasca-tambang. (Agung Budiono dan Rizky Ananda W.S.R : 2017 : 1)
Seperti yang dijelaskan oleh Bang Tuah selaku Pokja 30 di Samarinda, ia menjelaskan studi lapangannya di wilayah Kukar (Kutai Kartanegara). Di wilayah Kukar ini ada 3 kecamatan, sanga-sanga, Samboja, dan Muara Jawa. Disana ada satu kampung yang namanya sungai nangka yang mana terdapat 16 perizinan yang tumpang tindih, yaitu banyaknya Amdal yang copy paste lolos dari pemeriksaan. Selain itu, ia menjelaskan pula bahwa di Kaltim ini masih banyak perizinan tambang yang tidak memiliki NPWP. Hal ini sudah terlihat sangat jelas bahwa masih abainya pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara Negara terhadap izin pertambangan yang ada di Indonesia termasuk di wilayah Kalimantan Timur. Akibat dari lemahnya pengawasan oleh pemerintah dan aktor-aktor terkait, banyak sekali praktik-praktik pertambangan yang tidak memperhatikan praktik pertambangan yang baik dan sehat sehingga dari praktik pertambangan yang kotor itu memunculkan banyak dampak lingkungan yang buruk bagi masyarakat sekitar dan banyak sisa-sisa lubang bekas pertambangan yang ditinggalkan begitu saja tanpa dilakukannya reklamasi terlebih dahulu. Padahal sebelum adanya praktik produksi pertambangan ada dana jaminan reklamasi yang disetorkan dari perusahaan kepada pemerintah. Jika reklamasi itu tidak dilakukan setelah pasca tambang, lalu dimana keberadaan jaminan reklamasi tersebut ketika masih banyaknya lubang-lubang tambang yang dibiarkan begitu saja. Entahlah…
Penulis: Nur’aeni