Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat.

Presiden Jokowi harus mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Termasuk juga aturan turunannya, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah menyatakan ketiga beleid yang diterbitkan itu, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian.

Beleid itu juga memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan kelonggaran bagi IUPK untuk melakukan ekspor konsentrat hingga lima tahun ke depan.

“Pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat UU Minerba pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri,” kata Maryati dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (18/1/2016).

Selain itu, beleid-beleid itu juga bertentangan pada pasal 170 yang mewajibkan pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pemurnian.

“Sekaligus bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan pada 2009,” imbuh dia.

Manajer Advokasi PWYP Aryanto Nugroho juga menambahkan, pemberian relaksasi ekspor konsentrat selama lima tahun ke depan, menjadikan total 13 tahun waktu yang diberikan kepada pengusaha tambang untuk membangun industri hilir sejak UU Minerba disahkan.

“Rangkaian relaksasi ini melengkapi daftar inkonsistensi pemerintah terkait kebijakan hilirisasi sejak terbitnya Permen ESDM No 20 tahun 2013, Permen ESDM No 1 Tahun 2014, Permen ESDM No 5 tahun 2016 sampai dengan terbitnya Permen ESDM terbaru,” ungkap Aryanto.