Jakarta-Pertemuan Dewan Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Internasional ke-42 yang diselenggarakan di Kyev, Ukraina pada 28 Februari lalu menghasilkan keputusan penting dalam sejarah transparansi pengelolaan industri ekstraktif, khususnya minyak dan gas bumi (migas) dan pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Dewan EITI Internasional yang mewakili Pemerintah, Pelaku Usaha, dan Masyarakat Sipil menyetujui perubahan Standar EITI yang akan menjadi acuan bagi 52 anggota pelaksana EITI di seluruh dunia. Persetujuan perubahan Standar EITI akan disahkan dalam EITI Global Conference yang akan diselenggarakan pada bulan Juni 2019 di Paris yang dihadiri oleh perwakilan negara pelaksana EITI di seluruh dunia.

Perubahan signifikan tersebut adalah kewajiban seluruh anggota pelaksana EITI untuk membuka data kontrak dan izin migas & minerba yang baru atau amandemen di tahun 2021; pembukaan data pembayaran perusahaan dan penerimaan negara dalam lingkup project by project level; kewajiban mempublikasikan kewajiban keuangan perusahaan terkait lingkungan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan; kewajiban publikasi data pilah tenaga kerja dan mendorong pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan EITI; serta transparansi commodity trading meliputi penjualan maupun pembelian migas dan minerba.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengungkapkan, ”sebagai koalisi masyarakat sipil yang sejak awal mengawal lahirnya EITI dan sekaligus pelaksanaannya, tentu saja kami menyambut gembira hasil keputusan Dewan EITI Internasional. Keputusan ini tak hanya menunjukkan kemajuan advokasi masyarakat sipil mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ekstraktif. Namun juga, menunjukkan bahwa inisiatif EITI tak hanya berhenti dalam satu tahap saja, melainkan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Awal kehadiran EITI yang hanya mentransparansikan penerimaan negara saja, kini sudah beranjak jauh mendorong transparansi di hampir sepanjang rantai bisnisindustri esktraktif, termasuk mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender. Lebih penting lagi, EITI menuntut adanya dampak perbaikan nyata dalam wujud reformasi tata kelola industri ekstraktif.”

Indonesia, sebagai negara pelaksana EITI sejak tahun 2010 dengan payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif diharapkan dapat menjadi negara pionir yang secara progresif mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ini.

“Kami yakin Indonesia sebagai negara yang kaya dengan hasil pertambangan migas dan minerba, dapat mengambil kepemimpinan gerakan ini secara global,” tegas Maryati.

Keterbukaan Kontrak dan Izin

Aryanto Nugroho, Wakil Masyarakat Sipil dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia menjelaskan bahwa dalam konteks keterbukaan kontrak dan izin pertambangan di Indonesia, secara umum telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), khususnya Pasal 11 ayat (1) yang mengatur bahwa badan publik wajib menyediakan dokumen perjanjian badan publik dengan pihak ketiga, termasuk di dalamnya dokumen Kontrak Karya (KK), Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa dan lainnya.“Dalam pelaksanaannya dokumen kontrak dan izin di sektor migas dan minerba adalah informasi yang terbuka” terangnya.

Aryanto, yang juga Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia menyebutkan sejumlah putusan Komisi Informasi (KI) baik di pusat maupun daerah yang menyatakan bahwa dokumen kontrak dan izin adalah dokumen publik yang wajib disediakan bagi publik.Sebut saja putusan KI Pusat No. 197/VI/KIP-PS-M-A/2011 menyoal sengketa YP2IP dan Kementerian ESDM terkait Salinan Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Mining Corporation, serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) PT Kaltim Prima Coal, yang menyebutkan bahwa salinan KK tersebut adalah informasi terbuka secara keseluruhan.

“Yang terbaru, Komisi Informasi Provinsi Riau di awal tahun 2019, memutuskan bahwa salinan dokumen kontrak PSC perusahaan migas di Provinsi Riau adalah informasi terbuka sebagaimana yang dimintakan oleh pemohon informasi publik atas nama Novrizon Burman kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Perwakilan Sumatera Bagian Utara (Sumbagut),” ungkap Aryanto.

Sementara terkait dokumen perizinan, hasil mediasi antara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dengan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat pada 5 Juni 2017 dengan nomor Register: 24/XII/KISB-PS/2016 menyebutkan bahwa seluruh dokumen perizinan tambang di Sumatera Barat per tahun 2016, merupakan informasi publik (TribunSumbar, 2017). Putusan KI Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) No. 0003/REG-PSI/III/2014 yang diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 614K/TUN/2015 dalam sengketa antara JATAM Kaltim dan Dinas Pertambangan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) juga menyatakan bahwa dokumen Izin UsahaPertambangan (IUP) sebagai informasi terbuka.

“Aneh jika Kementerian ESDM hari ini masih menyatakan bahwa dokumen kontak dan izin adalah informasi yang tertutup.”

Project by Project Leveldan Transparansi Commodity Trading

Nurkholis Hidayat dari Lokataru Foundation, mengingatkan bahwa transparansi project by project leveldan commodity trading, sangat krusial untuk mendorong akuntabilitas. “Ini terutama untuk menutup celah pemburu rente dan ruang korupsi yang selama ini diduga justru berada  melalui rantai service project/sub kontrak industri ekstraktif yang melibatkan elit-elit lokal. Dengan transparansi project by project level, publik juga dapat secara jelas membedah berbagai isu seperti divestasi PT Freeport, misalnya.”

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil inisiatif untuk menjadi bagian dari negara pilot di antara negara pelaksana EITI dan juga telah mempublikasikan laporan transparansi commodity trading. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Baik dari ruang lingkup maupun temuan yang dihasilkan.

“Beberapa temuan yang dihasilkan pun tidak terkonfirmasi, terutama dari Pertamina yang tidak mau membuka data, khususnya data terkait impor, sellerdan buyer, maupun sekedar mengkonfirmasi temuan,” jelas Nurkholis.

Padahal transparansi commodity tradingini sejalan dengan rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang beberapa waktu lalu bekerja untuk membenahi sektor migas dan sayangnya sampai hari ini pun rekomendasinya entah sampai mana.

Pengarusutamaan Gender Dalam EITI

Ermy Ardhyanti, Wakil Masyarakat Sipil dalam EITI Indonesia menyampaikan kesetaraan dan keadilan gender sudah seharusnya menjadi arus utama sepanjang rantai bisnis industri ekstraktif, baik ada maupun tidak ada inisiatif EITI. Bukan hanya soal data terpilah maupun ketenagakerjaan saja. Keadilan gender harus melampaui itu.

Menurut Ermy, peran dan relasi gender dalam industri ekstraktif tidak seimbang, perempuan dan anak cenderung menerima lebih banyak dampak negatif dibandingkan laki-laki dari aktivitas pertambangan di Indonesia. Sebut saja misalnya, kasus Kendeng, maupun Lubang Tambang di Kalimantan, yang paling terdampak adalah perempuan dan anak.

Akses dan kontrol terhadap sumber daya, misalnya hak atas properti dan sumber daya alam, perempuan pada posisi makin marginal sehingga berakibat pada rendahnya kesejahteraan. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait kegiatan ekstraktif masih berada pada level terendah.“Keamanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak pada daerah tambang juga masih lemah,” jelas Ermy.

Contact Person:
Maryati Abdullah (maryati@pwypindonesia.org)
Aryanto Nugroho (aryanto@pwypindonesia.org)
Nurkholis Hidayat (nilkoe@gmail.com)
Ermy Ardhyanti (eardhyanti@gmail.com)