RABU, 15 MEI 2013
Setelah tiga tahun dibentuk, Tim Transparansi Industri Ekstraktif mensosialisasikan laporan pertama EITI (Extractive Industry Tranparency Initiative)Indonesia. Laporan pertama untuk tahun 2009 dan persiapan laporan tahun 2010-2011 dilaksanakan di Jakarta, Selasa (14/5) kemarin. Keterlambatan pembuatan laporan itu sempat menimbulkan kekhawatiran tentang nasib EITI di Indonesia.
Tim Transparansi Industri Ekstraktif dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Peneriman Negara dan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. Industri ekstraktif adalah segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Tim ini bertugas melaksanakan transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif.
Laporan EITI 2009 membandingkan data pemerintah dan data perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif. Misalnya, berapa dana rehabilitasi pasca tambang, dan pajak penghasilan dari tiap perusahaan industri ekstraktif yang diterima negara.
Koalisi Masyarakat untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif, Publish What You Pay (PWYP) memberi catatan kritis. PWYP menilai masih ada masalah dalam laporan EITI, terutama menyangkut sinkronisasi data. Misalnya, royalti batubara. Laporan penerimaan yang disusun pemerintah lebih besar dari yang dilaporkan perusahaan.
PWYP mencatat bahwa dari hasil laporan migas, mineral, dan batubara, banyak yang berbeda. “Artinya, apa yang dibayarkan perusahaan dan apa yang dibayarkan pemerintah tidak sama dalam laporan,” jelas Aryanto Nugroho, anggota tim advokasi PWYP. “Kami mengkritik perbedaan-perbedaan yang muncul dari kedua laporan tersebut,” sambungnya.
Masalah lain yang dikritik adalah cost recovery. Perusahaan industri ekstraktif cenderung menolak data cost recovery dibuka. Menurut Aryanto, PWYP justru berusaha mendorong agar data cost recovery dan besaran corporate social responsibility tersebut dibuka ke publik. Uang negara untuk membayar cost recovery pada dasarnya adalah uang rakyat, dan jumlahnya sangat besar. “Artinya, publik juga harus tahu,” tandas Aryanto.
Ketua Komisi Informasi Pusat, Abdul Rahman Makmun, setuju agar transparansi industri ekstraktif terus didorong. Tugas Tim Transparansi justru sejalan dengan semangat keterbukaan yang diamanatkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Meskipun dilakukan bertahan, kata Rahman, industri ekstraktif harus terus membuka diri. “Secara proaktif harus membuka diri,” ujarnya kepada hukumonline.
Menurut dia, sepanjang data dalam laporan itu tak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan, masyarakat berhak mengaksesnya. Patut dicatat bahwa Perpres No. 26 Tahun 2010 juga merujuk pada UU KIP. Namun, Rahman menegaskan, Komisi Informasi bukan bagian langsung dari Tim Transparansi Industri Ekstraktif.
M-14/MYS
Link Berita :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt519346253b244/masih-ada-masalah-dalam-laporan-industri-ekstraktif