img_3513

Masyarakat sipil menilai kinerja pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam perlu diperkuat. Penilaian itu muncul dari hasil Workshop Kinerja Pemberantasan Korupsi di Sektor Pertambangan, Hutan dan Kebun di Balikpapan dan Pekanbaru, akhir November lalu. Kegiatan itu merupakan rangkaian acara pra kegiatan Indonesia Anti-Corruption Forum (IACF) ke-5 tahun 2016.

IACF sendiri adalah forum multipihak yang digagas pemerintah dan masyarakat sipil yang bertujuan untuk mempertemukan dan mengkonsolidasikan peran masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Carolus Tuah, pembicara dari perwakilan masyarakat sipil yang juga Direktur Pokja 30 Kalimantan Timur menegaskan bahwa upaya pemerintah dan KPK dalam pemberantasan korupsi pertambangan masih sangat terbatas, yakni masih berada pada tataran penataan izin yang bersifat administratif sementara penegakan hukumnya masih lemah.

“Meski KPK bersama Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah telah menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), nyatanya tindak lanjut inisiatif ini masih minim. Kurang dari 30% Izin Usaha Pertambangan (IUP) non-clean and clear di Pulau Kalimantan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang ditindaklanjuti. Belum lagi dengan penagihan kewajiban keuangan pelaku usaha, termasuk tunggakan pembayaran PNBP dan jaminan reklamasi serta pascatambang,” jelas Tuah.

Tuah menambahkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemberian status clean and clear juga tidak luput dari permasalahan, termasuk adanya indikasi potensi korupsi baik berupa gratifikasi maupun komisi (kick back). Contoh lain, 95% dari IUP berstatus clean and clear yang tumpang tindih dengan kawasan hutan di Kalimantan Barat tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). UU Kehutanan jelas menyebutkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan tanpa IPPKH merupakan pelanggaran pidana.

Sementara itu, Ansfridus J. Andijoe, selaku Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Barat selaku penanggap diskusi, mengaku permasalahan dalam sektor pertambangan memang banyak dan kompleks. Namun GNPSDA cukup membantu mengurai dan menyelesaikan permasalahan yang ada, meski belum sepenuhnya terlesaikan. “Diperlukan peranan aparat penegak hukum (apgakum) yang lebih kuat di sini. Misalnya dalam penagihan kewajiban pelaku usaha. Agar upaya kita lebih menggigit dan lebih didengar,” tukas Ansfridus.

Sementara itu, Syahrudin Ariestal, Direktur JATAM Sulteng menyebutkan lemahnya kinerja apgakum erat kaitannya dengan indikasi conflict of interest, mengingat sejumlah apgakum juga ikut “bermain” di sektor pertambangan.

Menanggapi soal pentingnya penegakan hukum untuk kejahatan di sektor pertambangan, AKBP Setiadi Sulaksono, Wadirreskrimus Polda Sulawesi Tengah, yang juga hadir dalam forum menegaskan komitmen kepolisian dalam pemberantasan kejahatan pertambangan. Namun Setiadi mengakui, bahwa kepolisian di Sulawesi Tengah sendiri masih banyak bekerja pada isu pertambangan tanpa izin (PETI).

Rendahnya kinerja penegakan hukum jelas terlihat dalam kasus lubang tambang di Kalimantan Timur yang telah merenggut 26 nyawa anak. Pradarma Rupang, Koordinator JATAM Kaltim, menjelaskan bahwa pihaknya telah melaporkan kasus ini ke apgakum.

Kantor Staf Presiden telah membentuk task force soal Lubang Tambang bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Komnas HAM juga telah memberikan rekomendasi penyelesaian kasus. “Namun belum ada kejelasan hingga sekarang,” kata Rupang.

Sementara itu, untuk workshop yang berfokus pada pemberantasan korupsi di sektor hutan dan kebun di Pekanbaru, diskusi yang mengemuka adalah soal tingginya kasus korupsi sektor kehutanan yang tentu merugikan masyarakat karena wilayah hutan yang semakin berkurang. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Mouna Wasef, menyampaikan bahwa sejak tahun 2003-2016 ada 12 kasus korupsi di sektor kehutanan dengan total kerugian negara mencapai 2,2 Triliun Rupiah dan 209.000 dolar Singapura. Korupsi ini sebagian besar bermotif penerbitan izin dan suap alih fungsi lahan.

Korupsi ini menjadi penyebab tingginya deforestasi. Menurut peneliti Forest Watch Institute Soelthon Nanggara, laju deforestasi tertinggi terjadi di Provinsi Riau yaitu 171.000 hektar setiap tahunnya. Dengan asumsi laju deforestasi yang sama setiap tahunnya dan tidak ada upaya reboisasi, hutan di Sumatera akan habis dalam kurun waktu 69 tahun.

Peneliti Jikalahari Yaya Nurul Fitria, menyatakan bahwa dari sekian banyak kasus korupsi yang ditangani KPK di Sumatera, hingga saat ini belum ada korporasi yang dikenakan pidana. Bahkan korporasi-korporasi tersebut masih beroperasi hingga saat ini.

Sebagai hasil workshop masyarakat sipil menyusun policy brief di Balikpapan dan Pekanbaru, disusun yang berjudul “Saatnya Kerja Nyata Selamatkan Sumber Daya Alam” dan surat terbuka kepada Presiden Jokowi untuk segera membentuk satgas pertambangan. Hadir dalam workshop ini perwakilan pemerintah, apgakum, akademisi serta CSO se-Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.