REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kelompok organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil ResponsiBank Indonesia mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. RUU Perbankan akan menggantikan Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Koalisi ResponsiBank terdiri dari Perkumpulan PRAKARSA, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, ICW (Indonesian Corruption Watch) dan INFID (International NGO Forum for Indonesian Development).
Koordinator Sekretariat Koalisi ResponsiBank Akbar Ali mengatakan, UU Perbankan belum cukup memuat empat aspek penting. Keempatnya yakni tanggung jawab lingkungan hidup dan sosial, perlindungan konsumen, inklusi keuangan, dan aspek tata kelola-transparansi bank.
Koalisi ResponsiBank mengusulkan keempat pilar tersebut perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Perbankan. Dia menilai perlunya penegasan mengenai kelengkapan persyaratan perizinan (legalitas) selain Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan pembiayaan bagi proyek-proyek besar yang beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup.
“RUU Perbankan perlu memasukkan risiko sosial dan lingkungan hidup sebagai bagian dari manajemen risiko industri perbankan,” jelasnya dalam siaran pers, Selasa (2/6).
Dalam aspek perlindungan konsumen, mengatur prinsip-prinsip perlindungan nasabah, seperti keadilan dan kejujuran, serta memproses pengaduan nasabah dan melaporkan hasilnya. Selain itu, transparansi dan edukasi kepada nasabah mengenai produk dan layanan (termasuk kemungkinan risiko dan kerugian).
Penyediaan informasi mengenai layanan dan produk yang mudah diakses nasabah. Menjaminkan dana nasabah sesuai ketentuan dalam UU tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), serta perlindungan data konsumen dari keperluan komersial bank.
Dalam aspek inklusi keuangan, Koalisi ResponsiBank mengusulkan BPR tidak dikategorikan sebagai bank, tetapi sebagai LKM. Dia juga menilai perlunya ada Bank Pembangunan yang khusus menangani sektor-sektor vital seperti energi, infrastruktur, dan lain-lain.
Dalam aspek tata kelola dan transparansi, otoritas diminta menjatuhkan sanksi yang lebih tegas bagi bank yang melanggar aturan, bukan hanya sanksi yang bersifat administratif. Selain itu, masyarakat dinilai berhak untuk mendapatkan laporan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bank juga diminta lebih transparan dalam pengaturan suku bunga, termasuk pengaturan suku bunga bersama dengan (kelompok) bank lain, sehingga menghindari kartel suku bunga.
“Koalisi ResponsiBank berpendapat bahwa undang-undang yang baik adalah undang-undang yang dapat menjawab tantangan zaman, bukan hanya untuk konteks saat ini melainkan setidaknya hingga 10–15 tahun ke depan,” imbuhnya.