Sumber Ilustrasi: di sini.

 

*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis

Dimuat di Tabloid Mingguan Kontan, 1 – 6 September 2015

Komentar Rizal Ramli beberapa saat setelah dilantik menjadi Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumberdaya menyengat Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla. Kritik pedas Rizal Ramli terkait target pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan total kapasitas 35 ribu Mega Watt (MW), mematik perdebatan dengan atasannya sendiri, Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Malahan, dengan lantang, Rizal Ramli mengajak Jusuf Kalla untuk berdebat di depan publik.

Apa yang dilakukan oleh Rizal Ramli membuat panas suhu politik di lingkaran pemerintahan. Pro dan kontra muncul atas sikap kritis Rizal Ramli tersebut. Media dan publik menanggapi lebih kritis lagi. Dan, membawa perdebatan pada ranah yang tidak substansi, yang hanya menonjolkan pembangkangan bawahan terhadap atasan.

Publik kehilangan substansi, yang sebenarnya menarik dibahas, sebagai pematik diskusi terkait hajat hidup orang banyak yaitu kebutuhan energi listrik dan kedaulatan energi. Padahal dibalik persoalan ini, Rizal Ramli menyampaikan pesan utama yaitu persoalan kapasitas tenaga listrik dan target realistis yang harus dicapai oleh pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi listrik nasional.

Pada kesempatan ini, mari kita lupakan perang dingin antara Rizal Ramli dan Jusuf Kalla. Marilah membahas masalah yang lebih penting dengan dialetika yang lebih elegan, melalui bangunan pemikiran yang berbasis pada objektifitas. Menjawab substansi pernyataan Rizal Ramli yaitu mungkinkah target pembangunan pembangkit tenaga listrik berkapasitas total 35 ribu MW terlaksana sesuai target?

Melihat landasan teknokratik, target 35 ribu MW dihitung berdasarkan pada estimasi kebutuhan listrik nasional. Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik baru mencapai 50.989 MW. Diperkirakan sampai tahun 2019, dibutuhkan tambahan pembangkit tenaga listrik dengan total kapasitas 35 ribu MW. Asumsi menghitung kebutuhan berdasarkan: jumlah penduduk sebanyak 270,4 juta jiwa, jumlah pelanggan sebanyak 71 juta, konsumsi perkapita yang mencapai 1,2 MWh, rasio elektrifikasi sebesar 97,4%, beban puncak 50.531 MW dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 7% pertahun.

Untuk mencapai target 35 ribu MW, diperlukan 109 pembangkit tenaga listrik. Sebanyak 35 proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan total kapasitas sebesar 10.681 MW akan dibangun oleh pemerintah. Sedangkan, sisanya 74 proyek dengan total kapasitas sebesar 25.904 MW dibangun oleh pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP). Total investasi yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 35 ribu MW adalah sebesar Rp. 1.127 triliyun.

Jika merujuk pada landasan asumsi perhitungan, maka indikator pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 7% bisa dikatakan gugur. Berpikir realistis, dengan kondisi perekonomian yang mengalami tekanan, mencapai pertumbuhan sebesar 6 – 7% pertahun seperti ‘pungguk merindukan bulan’, mustahil tercapai. Tahun 2015 saja, diperkirakan target pertumbuhan jauh meleset dibawah target 5,8 – 6,0% dan paling optimis hanya sebesar 5,0%. Dengan itu, estimasi penambahan kebutuhan sebesar 35 ribu MW tidak terpenuhi.

Terkait pembiayaan pembangunan pembangkit listrik, persoalan semakin pelik. Gelombang pelemahan ekonomi dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) mempengaruhi realisasi investasi. Tidak hanya pihak swasta, Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun akan berpikir panjang untuk membangun pembangkit tenaga listrik karena biayanya semakin besar. Tingginya komponen impor untuk membangun pembangkit tenaga listrik, dengan kondisi Rupiah yang terus melemah terhadap Dollar AS, sekarang sudah mencapai Rp. 14.100/USD, tentu menyebabkan kurang kondusifnya investasi di sektor kelistrikan. Kondisi ini diprediksi akan berlangsung satu sampai dua tahun ke depan.

Masalahnya semakin rumit, ketika berhadapan dengan pembebasan lahan. Ini hambatan struktural yang belum bisa optimal dicarikan jalan keluarnya. Seperti kasus PLTU Batang yang sampai saat ini terkendala dengan pembebasan lahan. Padahal, pemerintah dan swasta sudah berkomitmen berinvestasi di PLTU Batang.

Hambatan dalam aspek perizinan juga menjadi persoalan dalam upaya pengembangan pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Walaupun, pemerintah telah berupaya menyederhanakan sistem perizinan dari sebelumnya 52 izin dengan lama pengurusan mencapai 923 hari menjadi 29 izin dengan lama pengurusan 256 hari serta penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Tapi, pada prakteknya belum sesuai harapan yang diharapkan.

Persoalan diatas, jika dihubungkan dengan pencapaian target pembangunan pembangkit tenaga listrik berkapasitas total 35 ribu MW, maka secara akal sehat dan realistis, target tersebut terlalu ambisius. Sangat logis, jika Rizal Ramli mengkritisi target ini. Mungkin bagi Rizal Ramli, tak elok kalau pemerintah menetapkan target yang tidak mungkin akan dicapai.

Solusi bagi Pemerintah

Presiden Jokowi dalam pernyataan terakhirnya di depan publik terkait pembangunan pembangkit tenaga listrik, tidak akan merevisi target pembangunan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 35 ribu MW. Artinya, sentruman dari kritik Rizal Ramli, tidak mengurangi asa Presiden Jokowi dalam merealisasikan target tersebut. Tapi melihat kondisi terkini yang terjadi, maka perlu beberapa catatan bagi pemerintah dalam upaya mencapai target pembangunan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 35 ribu MW.

Pertama, pemerintah harus melakukan mitigasi dari dampak pelemahan ekonomi dan depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS terhadap pencapaian pembangunan pembangkit tenaga listrik berkapasitas 35 ribu MW. Hal ini penting, untuk mengkalkulasikan berbagai hambatan yang terjadi terutama dalam aspek investasi. Melihat besarnya kebutuhan investasi dan sebagian besar dikelola oleh pihak swasta maka persoalaan pelemahan ekonomi dan depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS tentu menganggu kinerja investasi oleh pihak swasta.

Kedua, harus ada upaya terobosan regulasi terkait proses pembebasan lahan untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik. Memang sudah ada Undang – Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tapi, persoalan dilapangan banyak lahan yang direncanakan untuk pembangunan pembangkit listrik, bukan lahan untuk kepentingan umum dan berada di kawasan hutan lindung. Sehingga, sulit untuk membebaskan lahan tersebut. Untuk bisa mengatasi hal ini, perlu revisi terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Jika ini menjadi agenda utama pemerintah dan menyangkut hajat hidup orang banyak maka sudah selayaknya RTRW menyesuaikan dengan kebutuhan pembangunan pembangkit tenaga listrik.

Ketiga, mengoptimalkan sistem perizinan melalui PTSP yang selama ini masih terkendala di teknis administrasi dan kapasitas penyelenggara perizinan. Ini menyebabkan penyederhanaan sistem perizinan yang sudah dilakukan mengalami hambatan pada aspek implementasi. Sehingga, ke depan penguatan kapasitas dan teknis administrasi sistem perizinan harus segera diperbaiki.

Keempat, perlu insentif investasi bagi investor swasta yang berkomitmen membangun pembangkit listrik. Bentuknya bisa bersifat tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk komponen bahan baku atau barang modal untuk pembangkit tenaga listrik maupun perbaikan sistem harga antara PLN dengan IPP. Sehingga, dalam kondisi sulit seperti saat ini, iklim investasi masih bisa di jaga.

Kelima, perlu kepastian hukum bagi investor dalam pembangunan pembangkit listrik. Kementerian ESDM sudah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. PLN (Persero) melalui Pemilihan Langsung dan Penunjukan Langsung. Pemerintah harus mengoptimalkan peraturan ini untuk memperkuat kepastian hukum.