Perdebatan terkait keterbukaan kontrak dan izin masih banyak terjadi. Sebagian berpendapat bahwa kontrak dan izin dapat dibuka untuk publik, namun sebagian lagi justru berpendapat sebaliknya.
Dorongan untuk membuka kontrak sektor industri ekstraktif sebenarnya sudah banyak digaungkan di berbagai inisiatif global antara lain seperti Extractive Industrie Transparency Initiative (EITI) dan Open Government Partnership (OGP), dimana Indonesia menjadi negara anggota dalam inisiatif global tersebut.
Selain itu, dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) secara jelas telah memandatkan pelaksanaan keterbukaan informasi publik oleh badan publik, baik di pusat maupun di daerah. Namun, ternyata mandat UU KIP belum berjalan optimal.
UU KIP juga secara eksplisit menyebutkan bahwa dokumen kontrak dan perizinan adalah informasi terbuka. Namun dalam tataran praktik, publik masih sulit mendapatkan dokumen kontrak dan perizinan.
Untuk itu, kebijakan keterbukaan kontrak dan perizinan di sektor pertambangan menjadi penting untuk didorong. Selain untuk meningkatkan transparansi serta perbaikan tata kelola sektor ekstraktif, juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara dalam mengelola sumberdaya alam. Transparansi dan akuntabilitas juga merupakan salah satu standar dari ‘social license to operate’ bagi sebuah kegiatan ekonomi, termasuk bagi industri yang berbasis sektor sumberdaya alam.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sebagai koalisi masyarakat sipil yang konsisten mengawal standar EITI dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas sektor industri ekstraktif, telah menyusun beberapa tema kajian terkait keterbukaan kontrak/perizinan, baik dari sisi kerangka legal/regulasi, keterbukaan kontrak dan pembukaan beneficial ownership, keterbukaan kontrak dalam inisiatif global seperti EITI, serta potret berbagai pengalaman empiris dalam melakukan uji akses informasi dan dokumen perizinan di tingkat daerah.
Untuk itu, pada hari Rabu, 30 Juni 2020, PWYP Indonesia melaksanakan diskusi publik yang bertajuk “Keterbukaan Kontrak dan Izin di Indonesia: Kerangka Hukum, Implementasi EITI, Beneficial Ownership, Hingga Oraktik Keterbukaan Informasi di Berbagai Daerah”. Tujuan diskusi tersebut adalah untuk mendesiminasikan kajian tersebut kepada publik, guna mendapatkan masukan dan juga menjadikan isu ini sebagai kesadaran bersama akan pentingnya keterbukaan kontrak bagi hak-hak publik atas kegiatan usaha dan pengelolaan sumberdaya alam.
Para peneliti hadir untuk memaparkan temuan hasil kajian yang telah mereka susun. Adapun para peneliti yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut yakni: Dessy Eko Prayitno, Giri Ahmad Taufik, Choky Ramadhan dan Triono Hadi. Dalam diskusi yang dipandu oleh Meliana Lumbantoruan tersebut hadir pula penanggap kajian yaitu: M. Syahyan dari Komisi Informasi Pusat, serta Maryati Abdullah selaku Koordinator Nasional PWYP Indonesia.
Kerangka Hukum Keterbukaan Kontrak di Indonesia
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Namun, karena industri migas dan minerba adalah industri ekstraktif yang high risk, high technology, dan high cost, maka pengelolaannya perlu dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki modal kapital maupun teknologi yang kompetitif. Salah satu bentuk kerja sama pengelolaan nya adalah melalui sistem kontrak.
Dessy Eko Prayitno mengungkapkan bahwa “Kegamangan pemerintah untuk membuka dokumen kontrak terjadi karena pemerintah ditengarai belum memahami secara utuh mengenai kerangka hukum keterbukaan kontrak di Indonesia, serta adanya keraguan antara memenuhi kepentingan publik atau kepentingan investasi” ungkapnya.
Keterbukaan kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia ini dapat dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: pertama, sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam menjalankan mandat kolektif rakyat Indonesia untuk mengurus dan mengelola kekayaan alam Indonesia yang menjadi milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Kedua, salah satu makna pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas kekayaan alam Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 adalah dengan memberikan ruang partisipasi rakyat dalam pengurusan dan pengelolaan kekayaan alam Indonesia. Ketiga, sebagai bentuk pelaksanaan tujuan UU KIP. Keempat, sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khususnya yang terkait dengan asas pelindungan hak asasi manusia, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik(AUPB) sebagaimana diatur dalam UU No. 30/2014, khususnya asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas keterbukaan, dan asas kepentingan umum
Dessy Eko juga menambahkan bawa “Keterbukaan kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang menjadi salah satu bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kewenangan penguasaan negara sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, sejalan dan sekaligus menjadi nafas dalam pelaksanaan mandat konstitusi lainnya, seperti UU tentang Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)” Ujarnya dengan lugas.
Keterbukaan Kontrak dan Standar EITI
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Indonesia memiliki komitmen di dunia internasional untuk melakukan keterbukaan kontrak. Komitmen tersebut adalah terkait dengan keanggotaan Indonesia dalam EITI, yang merupakan inisiatif global mengenai transparansi di sektor industri ekstraktif. Dalam standar EITI, keterbukaan kontrak sudah dimulai sejak 2013, tetapi masih bersifat anjuran (encourage). Pun begitu dengan standar EITI 2016. Namun demikian, dalam standar EITI 2019, keterbukaan kontrak menjadi keharusan bagi seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.
“Dalam Requirement 2.4 standar EITI 2019 negara pelaksana diwajibkan untuk melakukan pembukaan kontrak yang disepakati mulai 1 Januari 2021. Namun demikian, seluruh anggota dianjurkan untuk mulai membuka dan mempublikasikan kontrak yang sudah ada atau kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum tahun 2021” papar Triono Hadi dalam diskusi onlne tersebut. Koordinator Fitra Riau tersebut juga mengungkapkan bahwa “selain kerangka hukum keterbukaan kontrak di tingkat nasional yang sudah jelas dan diatur dalam UU dan auran turunannya, komitmen pemerintah Indonesia sebagai anggota EITI juga dapat dijadikan kerangka hukum yang kuat untuk melaksanakan keterbukaan kontrak di Indonesia” tegasnya.
Meskipun berbagai peluang yang memungkinkan mendorong pemerintah Indoensia dalam mengimplementasikan standar EITI 2019 mengenai transparansi kontrak dan perizinan, namun dihadapkan tantangan dan hambatan yang menyebabkan Pemerintah Indonesia (Kementerian ESDM) hingga saat ini belum bersedia membuka dokumen kontrak dan perizinan secara proaktiv dan mudah diakses oleh publik.
Keterbukaan Kontrak dan Transparansi Beneficial Ownership
Keterbukaan kontrak dan transparansi beneficial ownership merupakan dua instrumen transparansi dari korporasi yang sangat penting dalam upaya pencegahan korupsi, money laundering, ketaatan pajak dan tindak pidana lainnya. Sebagai negara anggota EITI yang akan menerapkan standar keterbukaan kontrak dan juga sebagai anggota FATF yang juga menerapkan klausul keterbukaan beneficial ownership, Indonesia memainkan peranan penting. Terlebih, Indonesia telah memiliki Perpres yang mengamanatkan pelaksanaan kedua inisiatif tersebut.
Choky Ramadhan mengungkapkan bahwa “Keterbukaan kontrak dan transparansi beneficial ownership merupakan dua inisiatif yang dapat dihubungkan dan akan memberikan dampak yang lebih bermakna satu sama lain. Kedua inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi potensi korupsi, terutama dalam pengadaan publik dan perizinan”.
Choky menambahkan “Kombinasi inisiatif keterbukaan kontrak dan transparansi beneficial ownership bermanfaat untuk semakin meningkatkan transparansi, pengawasan/partisipasi publik, serta kualitas proses dan hasil dari pengadaan publik. Implementasi keduanya secara bersamaan mampu mencegah terpilihnya korporasi yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, memonopoli, dan/atau mengelola aliran uang ilegal (illicit financial flows) dalam pengadaan publik”.
Hasil telaah dalam kajian menyimpulkan setidaknya ada 2 Skema penerapan keterbukaan kontrak dengan mengaitkan pada transparansi beneficial ownership, yakni:
Pertama, transparansi informasi pada suatu register atau portal mengenai identitas dan beneficial ownership perusahaan yang mengajukan penawaran dalam suatu pengadaan publik. Ketika suatu perusahaan mengajukan penawaran, data perusahaan tersebut kemudian dihubungkan dan dibandingkan dengan data pendaftaran perusahaan dan informasi beneficial ownership
Kedua, keterkaitan antara keterbukaan kontrak dan transparansi beneficial ownership dengan mewajibkan perusahaan yang akan mengikuti tender pengadaan publik untuk mentransparansikan beneficial ownership. Hal ini bertujuan agar dapat teridentifikasi potensi konflik kepentingan, mencegah kolusi antara perusahaan yang berkaitan, menciptakan kompetisi yang sehat antar perusahaan, dan menjamin informasi utuh terkait pihak pemilik manfaat dari uang negara.
Membuka dokumen kontrak dan perizinan adalah keharusan yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya langkah untuk menciptakan tatakelola sumberdaya alam yang lebih baik. (M/L)