KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Co-Chair C20 Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, pergelaran G20 Summit menjadi momen strategis bagi Indonesia sebagai tuan rumah.

Oleh karena itu, sebagai tuan rumah tentu menjadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu untuk menjadi pemimpin dan mengajak negara G20 untuk berkomitmen dalam mengatasi krisis global yang dihadapi saat ini.

Dalam kata sambutannya, Aryanto mengatakan bahwa energi tidak hanya dipandang sebagai sebuah komoditas tetapi juga menjadi faktor pertumbuhan ekonomi.

Saat ini ketergantungan negara-negara G20 terhadap pemakaian energi fosil masih sangat tinggi, termasuk dalam kerangka ini pada konsumsi gas yang masih sangat tinggi.

“G20 sebagai kelompok negara yang mendominasi sektor ekonomi global dan menjadi rumah bagi dua per tiga populasi dunia bertanggung jawab terhadap 78% emisi karbon global,” ujar Aryanto dalam diskusi publik di Gran Melia Hotel, Jakarta, Senin (305).

Sehingga menurutnya, adanya forum G20 diharapkan menjadi titik transformasi pemimpin dunia dalam mewujudkan aksi ambisius terhadap perubahan iklim, khususnya melalui transisi energi.

Oleh karena itu, Ia menegaskan bahwa memastikan stabilitas energi dan ketahanan energi dalam jangka panjang juga menjadi bagian dalam melakukan transisi energi.

“Jadi sebelum transisi energi, ketahanan energi termasuk stabilitas energi itu menjadi penting apalagi di tengah krisis Ukraina-Rusia,” jelas Aryanto.

Di satu sisi, para ilmuwan memberikan penilaian melalui laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC Report AR6) tentang mitigasi perubahan iklim yang menyatakan bajwa rata-rata emisi global tahunan mencapai nilai tertinggi sepanjang sejarah manusia dalam satu dekade terakhir.

Walaupun peningkatan emisi mulai melambat, Aryanto melihat bahwa aksi perubahan iklim terbukti dengan menurunnya harga panel surya dan teknologi pembangkit listrik tenaga angin secara signifikan.

Meski upaya sudah dilakukan, namun dirinya mengatakan saat ini sulit untuk mencapai target di bawah dua derajat celcius. Bahkan dirinya memprediksi bisa mencapai tiga derajat celcius jika masih melakukan business as usual. Sehingga percepatan transisi menjadi kata kunci permasalahan tersebut.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, tantangan terbesar dalam mekakukan transisi adalah kebutuhan pendanaan.

“Di satu sisi kita butuh pendanaan, memastikan modal kapital itu benar-benar kita dorong untuk memperkuat transisi energi,” tutur Aryanto.

Sementara itu, transisi energi yang berkeadilan juga menjadi sebuah tantangan terbesar. Di mana keadilan tidak hanya pada negara G20 saja melainkan negara-negara non G20.

Hal ini sangat penting untuk mendorong praktik usaha berkelanjutan bagi para pengusaha sehingga dapat memobilisasi dana investor ke dalam negeri terhadap teknologi hijau.

“Pemerintah dan pelaku usaha diminta untuk dapat membuat roadmap transisi energi yang berkeadilan sekaligus transisi energi yang memastikan ekonomi hijau,” tandasnya.

Sumber: MSN


Bagikan