Jakarta – Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) merupakan inisiatif global yang mendorong tata kelola sektor minyak, gas, dan pertambangan yang transparan dan akuntabel, yang diterapkan di 56 negara, termasuk Indonesia. EITI Indonesia mengeluarkan laporan mengenai “Contract Transparency in Indonesia: Assessment of Benefits, Challenges, Risks, and Opportunities” pada tahun 2021. Laporan ini menilai kerangka hukum Indonesia yang ada tentang transparansi informasi publik yang memfasilitasi pengungkapan kontrak/izin ekstraktif, dengan fokus pada tantangan, manfaat, risiko, dan peluang dalam mendorong keterbukaan kontrak/izin yang lebih besar.

Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang juga menjadi bagian dari forum multi-stakeholder group (MSG) EITI Indonesia mengadakan dalam diskusi publik bertajuk “Inisiatif Keterbukaan Kontrak EITI di Indonesia: Manfaat, Tantangan, Risiko, dan Peluang” pada Jumat (20/5) secara daring. Diskusi ini sekaligus dalam rangka Open Government Week (OpenGovWeek) yang berlangsung pada tanggal 16-20 Mei 2022. Diskusi ini dihadiri oleh tiga narasumber: Giri Taufik, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan tim penulis laporan EITI Indonesia, Sampel L. Purba, Staf Ahli bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), dan Marsya M. Handayani, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia membuka diskusi dengan menjelaskan tujuan diadakannya diskusi ini yaitu untuk melihat kembali hasil laporan kajian yang telah disusun oleh EITI Indonesia dikontekskan dengan kondisi hari ini. Selain itu, Aryanto juga menjelaskan bahwa diskusi ini sekaligus dalam merayakan OpenGovWeek, mengingat Indonesia juga sebagai negara inisiatif dan pelaksana.

“Kita ingin melihat kembali hasil kajian laporan EITI Indonesia yang telah disusun. Sejauh mana kerangka hukumnya, bagaimana peluang dan tantangannya, dan apa manfaatnya ketika dokumen kontrak/izin itu dibuka. Kita juga ingin mendapatkan masukan dari pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat sipil terkait mengapa ini harus dibuka, bagaimana syaratnya, apakah ini harus dipublikasikan, atau sebaiknya ditutup dan sebagainya,” ungkap Aryanto.

Giri Taufik, Tim Penulis Laporan EITI Indonesia, memaparkan bahwa Indonesia pada tahun 2010 telah berkomitmen untuk melaksanakan standar keterbukaan EITI melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2010. Inisiatif keterbukaan EITI sendiri mendorong keterbukaan secara transparan dan akuntabel pada sektor industri ekstraktif. Standar baru EITI Indonesia pada tahun 2019 (EITI Requirement 2.4) memandatkan bahwa kewajiban membuka seluruh kontrak dan perizinan serta perubahannya yang diterbitkan sejak 1 Januari 2021.

Menurut Giri, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk melaksanakan mandat tersebut yang menjadi perhatian khusus dari para pemangku kepentingan. Pertama, apakah secara hukum dan regulasi di Indonesia memperbolehkan membuka dokumen kontrak dan izin. Kedua, soal risiko terutama dari sisi pemerintah, apakah ada risiko yang akan ditimbulkan dari membuka dokumen kontrak dan izin, dan bagaimana mitigasi risiko-risiko tersebut.

Giri menyampaikan bahwa dokumen kontrak dan izin merupakan dokumen terbuka didasarkan atas Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang memandatkan bahwa Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat. Giri menekankan pada pasal 11 ayat 1 huruf (b) dan huruf (e) bahwa Informasi Publik yang dimaksud adalah hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya, dan perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga. Kemudian, argumen dasar yang mendukung keterbukaan dokumen kontrak dan izin adalah UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang memposisikan bahwa sumber daya alam adalah barang publik bukan barang privat.

“Perdebatan yang terjadi adalah apakah kontrak industri ekstraktif ini adalah dokumen privat yang sifatnya rahasia atau merupakan dokumen publik. Berdasarkan rezim hukum yang kita miliki terutama yang mengatur pertambangan dan sebagainya, memandatkan bahwa kuasa sumber daya alam itu dimiliki negara dan dikelola oleh negara maka sifatnya publik jadi seharusnya bukan barang privat,” ungkap Giri.

Giri juga menjelaskan beberapa manfaat yang didapatkan ketika mendorong keterbukaan dokumen kontrak dan izin. Manfaat dari inisiatif keterbukaan ini dapat dibagi menjadi tiga aktor penerima manfaat, yaitu pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Untuk pemerintah, inisiatif keterbukaan ini dapat membantu pemerintah dalam proses negosiasi kontrak untuk mendapatkan negosiasi yang lebih baik, meningkatkan iklim investasi, dan mendorong akuntabilitas pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Untuk pelaku usaha, tuntutan adanya Environment, Social, and Governance dari investor, dan juga mengelola ekspektasi publik terhadap hak dan kewajiban dari perusahaan. Untuk masyarakat, mitigasi dan mendeteksi konflik sejak dini, dan mengetahui hak dan kewajiban atas kegiatan industri yang akan berlangsung.

Dari sisi tantangan terkini dalam mendorong inisiatif ini, Giri membagi menjadi sektor minyak dan gas (migas), dan tambang. Di dalam sektor migas, tidak adanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di dalam struktur SKK Migas, serta belum adanya dokumen kontrak yang dapat diakses secara publik dan Mahkamah Agung (MA) menyatakan kontrak migas sebagai informasi yang tidak wajib diberikan. Sedangkan untuk sektor tambang, dokumen kontrak dan izin termasuk dalam informasi yang dikecualikan berdasarkan Uji Konsekuensi No. 001/2020/PPID.

Dari segi risiko dalam keterbukaan kontrak/izin, Giri membagi menjadi 4 potensi, yaitu potensi gugatan, potensi daya saing bisnis, perlindungan informasi SDA, dan potensi adanya gangguan pada operasi pertambangan. Menurut Giri, potensi risiko-risiko tersebut dapat dikelola menggunakan pendekatan bertahap, yaitu dengan menentukan risiko dari setiap pemangku kepentingan, menentukan level risiko, dan menentukan mitigasi risiko jika dokumen kontrak/izin dibuka. Giri menutup paparannya dengan memberikan hasil rekomendasi dari laporan yang telah disusun, yaitu mendorong adanya diskusi intensif antar MSG baik dari pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha untuk mendiskusikannya kemudian mengidentifikasi setiap risiko dan bagaimana memitigasinya. Adanya modifikasi terhadap platform keterbukaan data yang sudah disediakan oleh KESDM seperti MODI dengan menambahkan menu unduh dokumen kontrak/izin berdasarkan metode yang disepakati bersama oleh MSG. Dan juga memasukkan keterbukaan kontrak migas sebagai bagian dari Rencana Aksi Nasional untuk Keterbukaan Open Government Indonesia (OGI) dan membentuk PPID di SKK Migas.

Sampe L. Purba, Staf Ahli bidang Ekonomi Sumber Daya Alam KESDM, memberikan tanggapan bahwa portal satu data yang dikembangkan oleh KESDM seperti MODI dan One Map merupakan salah satu inisiatif pemerintah dalam keterbukaan informasi yang menjadi daya tarik dan kekuatan untuk menarik investor serta sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Menurut Sampe perlu adanya diskusi pendalaman terkait model-model keterbukaan kontrak di negara-negara investor yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana model keterbukaan informasi dapat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Yang kedua, Sampe menegaskan bahwa perlu adanya edukasi terkait memahami dokumen kontrak bagi para pemangku kepentingan pertama, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil sehingga adanya satu pemahaman antar pemangku kepentingan dalam memahami konteks keterbukaan kontrak dan izin.

“Satu hal lagi sebagai dari pengayaan kita kedepan adalah kira-kira di negara-negara baik produsen atau konsumen, sejauh mana kita bisa melihat animo berinvestasi berdasarkan keterbukaan kontrak di negara-negara tujuan berinvestasi seperti Indonesia,” tambah Sampe.

Marsya M. Handayani, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), memberikan tanggapan bahwa UU KIP telah jelas mengatur bahwa Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi, kecuali pada informasi yang dikecualikan. Marsya sepakat dengan Giri bahwa terdapat nuansa publik dalam keterbukaan kontrak/izin yang didasarkan atas Pasal 33 ayat (3), yaitu bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Marsya, asas keterbukaan juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana ada hak mencari dan menerima informasi yang merupakan hak sipil dan politik.

Marsya juga menyebutkan bahwa di dalam UU Minerba itu sendiri menjelaskan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menghubungkan dari rencana tahap pertambangan di wilayah izin pertambangan dan izin usaha pertambangan operasi produksi pertambangan kepada masyarakat secara terbuka. Marsya menambahkan perspektif dari organisasi masyarakat sipil bahwa keterbukaan kontrak/izin ini akan mendorong kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat.

“Bagi masyarakat, keterbukaan kontrak dan izin ini akan dibutuhkan sebagai dasar partisipasi publik secara utuh yang artinya masyarakat juga berhak memberikan pendapat dan terlibat dalam proses penentuan dalam operasi pertambangan. Selain itu masyarakat juga dapat melakukan joint monitoring untuk pengawasan dampak-dampak pertambangan mengingat jumlah inspektur tambang tidak sebanding dengan izin-izin yang diterbitkan,” tegas Marsya.

Inisiatif keterbukaan EITI di Indonesia masih berjalan cukup panjang perdebatannya, khususnya dalam mendorong keterbukaan dokumen kontrak dan izin yang merupakan mandat dari standar EITI terbaru (2019 EITI 2.4 Requirements). Para pemangku kepentingan dapat memanfaatkan keberadaan MSG ini khususnya diharapkan dapat mendorong terjadinya kolaborasi antar kelompok pemangku kepentingan dalam melakukan perbaikan tata kelola sektor ekstraktif.