1257451shutterstock-207954604780x390

JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana pemerintah melonggarkan kembali ekspor konsentrat mendapat respons dari sejumlah kalangan. Salah satunya, organisasi non-pemerintah Publish What You Pay (PWYP).

Menurut Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah jika benar rencana tersebut direalisasikan, maka akan muncul sejumlah dampak negatif.

Pertama, relaksasi ekspor konsentrat memunculkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia.

Maryati mengatakan, sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, sejumlah aturan turunan yang dibuat, diubah, dan direvisi yang menunjukkan inkonsistensi regulasi pemerintah dalam hal hilirisasi mineral.

“Relaksasi ini bahkan indikasi ketidakpastian hukum dalam kegiatan ekonomi sektor minerba. Saya khawatir ini menimbulkan buruknya iklim investasi di mata dunia dan pelaku usaha dalam negeri,” kata Maryati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (25/9/2016).

Kedua, pembukaan kembali keran ekspor konsentrat dapat mengacaukan upaya pembenahan dan penataan izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia.

Maryati mengatakan, saat ini ada 6.541 IUP Mineral baik logam, nonlogam, dan batuan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Sebanyak lebih kurang 2.500 diantaranya belum mengantongi status Clean and Clear (CNC).

“Ini situasi darurat. Kalau relaksasi terjadi, pertambangan (ilegal) akan massif, eksploitasi sumber daya alam akan terjadi secara besar-besaran, akan terjadi pembukaan lahan dan hutan yang itu dapat menimbulkan berbagai konflik,” ucap Maryati.

Ketiga, relaksasi ekspor konsentrat akan menjerat Indonesia kembali pada kegiatan ekonomi eksploitatif ala kolonial. Maryati mengatakan, dalam kegiatan ini sumber daya alam hanya dipandang sebagai sebuah komoditas.

“Seharusnya, pemerintah mengubah pola pikir bahwa sumber daya alam itu adalah sebagai aset. Salah satu strateginya adalah dengan strategi peningkatan nilai tambah atau hilirisasi,” ucap Maryati.