Bagi Forum Pajak Berkeadilan, kebijakan dan administrasi perpajakan masih menjadi masalah utama. Sebab, faktanya sistem perpajakan belum optimal dalam memenuhi kebutuhan pendanaan negara.
Forum Pajak Berkeadilan menyampaikan proposal kebijakan kepada pemerintah yang bertujuan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Usulan ini merupakan hasil diskusi organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam forum tersebut, sebagai sumbangsih pemikiran bagi tata kelola perpajakan dan pembiayaan pembangunan nasional.
Adapun Forum Pajak Berkeadilan terdiri atas Perkumpulan Prakarsa, ASPPUK, ICW (Indonesia Corruption Watch), IGJ (Indonesia for Global Justice), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), ILR (Indonesia Legal Roundtable), PWYP Indonesia, YLKI (Yayasan Layanan Konsumen Indonesia), INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), TII (Transparency International Indonesia), dan sebagainya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran Indonesia, Yenti Nurhidayat, menjelaskan bahwa proposal tersebut merupakan bentuk keprihatinan masyarakat sipil terhadap sistem perpajakan yang belum optimal dalam memenuhi kebutuhan pendanaan negara.
“Forum Pajak Berkeadilan ini mencoba merumuskan suatu catatan, atau bisa disebut proposal kecil, untuk pemerintah. Kira-kira, kalau menurut masyarakat sipil, apa yang perlu dilakukan agar sistem perpajakan kita lebih berkeadilan,” ujar Yenti dalam Diskusi Publik yang bertema Proposal Kebijakan Pajak Berkeadilan: Reformasi Kelembagaan, Basis Pajak, dan Redistribusi di Jakarta, Selasa (27/5).
Ia menegaskan, sumbangsih ini diharapkan dapat memperbaiki tata kelola perpajakan dan sekaligus membantu pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan bagi APBN, agar pembangunan tidak terus bergantung pada utang.
Menurutnya, kegagalan optimalisasi pajak menyebabkan pembiayaan negara lebih bertumpu pada utang. Yenti menyebutkan ketergantungan pada utang dapat menimbulkan kerentanan fiskal. Untuk itu, forum melihat perlunya penguatan penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan, yang selama ini menyumbang sekitar 69 persen dari total penerimaan negara.
“Kalau pajak kita tidak optimal, ujung-ujungnya apa? Ya, utang. Itu menjadi keprihatinan kami. Kalau tidak menjual aset, akhirnya pemerintah akan menambah utang,” jelasnya.
Forum Pajak Berkeadilan mengidentifikasi dua masalah utama dalam sistem perpajakan Indonesia yakni kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan. Postur perpajakan, kata dia, sangat bergantung pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), yang justru banyak menyasar kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.
Data yang dihimpun forum menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, PPh secara konsisten menyumbang lebih dari 49 persen terhadap penerimaan pajak, dengan kontribusi tertinggi pada 2016 sebesar Rp657,16 triliun atau 52,6 persen. Sementara PPN menyumbang minimal 33 persen, dengan kontribusi tertinggi pada 2024 mencapai Rp409,18 triliun atau 37,1 persen.
Selain itu, forum juga menyoroti potensi besar yang belum tergarap dari sektor pertambangan dan pajak terhadap orang super kaya. Industri pertambangan, yang menyumbang 8,78 persen terhadap PDB pada triwulan II tahun 2024, hanya menghasilkan 2,49 persen terhadap penerimaan pajak pada 2023. Forum mendorong pemerintah mempertimbangkan penerapan pajak produksi batubara dan pajak laba mendadak (windfall tax).
“Pemerintah juga belum memiliki kerangka aturan untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang super kaya, padahal 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir 80 persen kekayaan negara,” kata Yenti.
Menurutnya, penerapan pajak kekayaan (wealth tax) bisa menjadi solusi untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan keadilan fiskal. Forum juga menilai kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty belum efektif. Dari dua jilid yang telah dilakukan, realisasi penerimaan hanya sekitar 25,7 persen dari target.
“Kita berharap mereka melaporkan kekayaannya dan membayar pajak dengan benar, tapi ternyata hasilnya tidak optimal,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, Forum Pajak Berkeadilan mengusulkan lima strategi reformasi melalui perluasan basis pajak yakni menerapkan wealth tax, memperjelas skema pajak karbon, mereformasi kebijakan cukai tembakau, menaikkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan dari usulan pemerintah sebesar 2,5 persen menjadi 60 persen, dan mengenakan cukai plastik sebesar Rp500 per lembar atau Rp50.000 per kilogram.
“Ini adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah jika memang serius ingin memperkuat penerimaan negara tanpa terus-menerus mengandalkan utang,” tutup Yenti.
Selain itu, Yenti menyoroti sejumlah persoalan dalam sistem administrasi perpajakan nasional yang dinilai masih rumit dan penuh tantangan, baik bagi pelaku usaha maupun individu wajib pajak.
“Salah satu persoalan utama adalah rumitnya sistem administrasi perpajakan. Berdasarkan hasil double-list experiment menggunakan data World Bank Enterprise Survey, sekitar 25–27 persen perusahaan formal di Indonesia menunjukkan indikasi menghindari pajak. Kerugian negara akibat praktik ini mencapai 2 persen dari PDB,” ungkap Yenti.
Ia menambahkan, perusahaan non-eksportir terbukti lebih cenderung menghindari pajak dibanding eksportir. Disisi lain, masih banyak masyarakat yang merasa kesulitan dalam melaporkan SPT.
“Bukan tidak patuh pajak, tapi bagi sebagian besar rakyat, pelaporan pajak itu terasa sangat rumit. Ini harus menjadi perhatian pemerintah,” ujarnya.
Yenti juga mengungkapkan kelemahan dalam aspek pengawasan dan penegakan hukum perpajakan. Ia menyebut adanya compliance gap atau selisih antara pajak yang seharusnya diterima dan yang benar-benar dibayarkan, yang mencapai sekitar 3,8 persen dari PDB setiap tahun.
“Kalau kita jumlahkan dengan potensi hilangnya pajak akibat penghindaran, maka ada sekitar 5,8 persen dari PDB yang hilang. Ini angka yang sangat besar, dan menunjukkan urgensi perbaikan dalam sistem administrasi dan penegakan hukum perpajakan kita,” tegas Yenti.
Sementara itu, Program Officer Divisi Natural Resource and Economic Governance, Transparency International Indonesia (TII), Lalu Hendri Bagus, menekankan pentingnya transparansi fiskal dan adaptabilitas dalam sistem perpajakan Indonesia sebagai langkah strategis untuk meningkatkan kepercayaan publik dan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Dalam paparannya, Hendri menyambut positif peningkatan jumlah wajib pajak di Indonesia yang tercatat mencapai 69,7 juta pada tahun 2024, naik signifikan sekitar 33 persen dibandingkan tahun 2020. Namun, ia menilai peningkatan ini tidak sepenuhnya mencerminkan kesadaran moral wajib pajak.
“Banyak yang membuat NPWP karena terpaksa, misalnya karena syarat administrasi agar gaji bisa cair. Belum ada teks moral atau kesadaran sukarela membayar pajak yang tumbuh kuat di masyarakat,” ujar dia pada kesempatan yang sama.
Menurutnya, lemahnya rasa keterikatan masyarakat terhadap sistem pajak mencerminkan tantangan serius dalam agenda transparansi dan adaptabilitas. “Kalau masyarakat tidak percaya, maka akan sulit membangun sistem pajak yang kuat. Karena itu, fiskal transparansi harus diperkuat agar meningkatkan voluntary tax compliance,” katanya.
Hendri menyoroti terbatasnya akses informasi fiskal sebagai salah satu penghambat partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan anggaran publik. Minimnya keterlibatan warga negara dalam penelusuran alokasi dan belanja negara, ditambah dengan kasus korupsi yang melibatkan aparatur pajak, memperbesar krisis kepercayaan publik.
“Bahkan ketika yang terlibat korupsi bukan dari DJP secara langsung, tapi masyarakat tetap mengaitkan itu dengan pajak. Ini menimbulkan persepsi bahwa kontribusi pajak tidak sebanding dengan manfaat yang diterima,” ungkapnya.
Untuk menjawab tantangan ini, Hendri menyarankan tiga langkah strategis. Pertama, digitalisasi administrasi pajak. Ia menyinggung implementasi sistem baru Coretax yang meskipun belum sepenuhnya siap, dinilai sebagai langkah maju.
“Sistem ini diharapkan dapat dilengkapi dengan teknologi berbasis AI dan risk scoring, untuk menyederhanakan proses pelaporan dan meningkatkan pengawasan,” jelas Lalu.
Langkah kedua adalah mendorong audit berbasis risiko dan integrasi data lintas sektor. Hal ini, menurutnya, penting untuk meningkatkan akurasi pengawasan dan menekan potensi pelanggaran. Kemudian yang ketiga, reformasi administrasi pajak secara menyeluruh.
Sumber: Hukum Online