Menteri BUMN menyambut baik terlaksananya alih keloka Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Namun pekerjaan berat menanti dalam meningkatkan produksi migas blok ini.

Menteri BUMN Erick Thohir menyambut kembalinya Blok Rokan ke pangkuan Indonesia, setelah nyaris satu abad lamanya dieksplorasi dan dieksploitasi oleh perusahaan migas asal Amerika Serikat (AS), Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Menurutnya, alih kelola Blok Rokan pada 9 Agustus 2021 menjadi kado istimewa Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-76, bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menjadi kontribusi nyata BUMN membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi negeri ini.

“Kita baru saja mengukir sejarah baru. Wilayah Kerja (WK) Rokan resmi kembali ke pangkuan Merah Putih. Kini dikelola BUMN kebanggaan Indonesia melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR),” kata Erick dikutip dari akun instagramnya @erickthohir, Selasa (10/8).

Ia menyebut, Blok Rokan memiliki peran penting untuk memenuhi target produksi nasional yakni 1 juta barel per hari minyak, dan 12 miliar standar kak kubik per hari gas pada 2030. Hal ini karena WK ini merupakan salah satu penghasil minyak utama yang berkontribusi 24% terhadap produksi minyak mentah nasional.

“Juga merupakan komitmen investasi dengan jumlah pengeboran sumur terbesar di antara wilayah kerja migas lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Proses alih kelola pun berjalan mulus, salah satunya terlihat dari kesediaan 98% tim CPI untuk bergabung ke PHR dan berkarya untuk Indonesia. Sebagai pengelola Blok Rokan yang baru, PHR memiliki target yang cukup ambisius. Di antaranya mengebor 161 sumur baru hingga akhir tahun ini, melanjutkan capaian tim CPI yang telah berhasil mengebor 103 sumur hingga terlaksananya alih kelola. Kemudian Pertamina berkomitmen untuk mengebor 500 sumur baru pada 2022. Untuk mencapai target itu, tambahan 10 rig pengeboran akan dioperasikan. Untuk itu, Pertamina telah menyiapkan investasi untuk menggenjot produksi blok ini hingga US$ 2 miliar atau sekitar Rp 29 triliun selama empat tahun ke depan atau 2025.

 

 

 

Simak kinerja produksi migas Blok Rokan pada databoks berikut:

Produksi Minyak Chevron Blok Rokan 2007-2015

 

Setop Euforia, Banyak Pekerjaan Menanti

Di tengah euforia kembalinya Blok Rokan ke tangan Indonesia, Koalisi nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengingatkan bahwa banyak pekerjaan yang harus dituntaskan.

Koordinator PWYP Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan bahwa tantangan terbesar Pertamina saat ini adalah mempertahankan, bahkan meningkatkan produksi minyak dan gas bumi di Blok Rokan.

“Dengan target produksi minyak minimal 200 ribu barel per hari (bph), Pertamina harus dapat mencari teknologi yang sesuai, sumber daya manusia (SDM) yang memadai ataupun menggandeng mitra yang sudah berpengalaman,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (10/8).

Tantangan yang dihadapi Pertamina di Blok Rokan juga terkait solusi pembiayaan. Usia blok migas ini yang hampir satu abad membutuhkan teknologi unconventional yang biaya investasinya tak sedikit.

“Tentu saja kita harus menjaga optimisme dan berharap pengalaman Pertamina meningkatkan produksi di Blok ONWJ bisa dilakukan kembali,” kata Aryanto.

Blok Rokan sendiri merupakan salah satu wilayah kerja strategis yang telah menghasilkan 11,69 miliar barel minyak dari 1951 sampai 2021. Produksi minyak rata-rata tahun ini, hingga Juli 2021, sebesar 160,5 ribu barel per hari (bph) atau sekitar 24% dari produksi nasional dan gas bumi 41 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Menurut Aryanto, dalam konteks industri ekstraktif, nilai strategis Blok Rokan setara dengan wilayah pertambangan yang dikelola PT. Freeport Indonesia.

 

 

Selain itu, ia mengingatkan agar Pertamina tetap menjalankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Di tengah isu miring BUMN sebagai “sapi perah”, ini bisa menjadi momentum Pertamina untuk mendemonstrasikan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka seluruh proses pengelolaan Blok Rokan kepada publik.

Transparansi dan akuntabilitas bisa dimulai dengan membuka dokumen kontrak kerja sama, termasuk dengan pihak ketiga. Kemudian melaksanakan kewajiban-kewajiban keuangan seperti bonus tanda tangan, pajak dan penerimaan negara lainnya, serta kewajiban sosial dan lingkungannya.

Baik transparansi dalam hal kerja sama pengadaan barang dan jasa, maupun transparan dalam hal pemilihan mitra yang memiliki kemampuan di bidang hulu minyak dan gas bumi sesuai kelaziman bisnis.

“Transparansi dalam hal kerja sama dengan pihak ketiga harus menjadi perhatian utama. Karena di sini lah ruang bagi pemburu rente dan oligarki untuk masuk. Apalagi Indonesia salah satu negara pelaksana inisiatif global Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) sejak 2010,” kata Aryanto.

Ia juga menambahkan, bahwa pada 2017, Indonesia ditunjuk sebagai negara pertama yang mempublikasikan informasi perdagangan komoditas, meliputi pembukaan data volume dan penjualan minyak dan gas bumi bagian negara yang dikelola oleh Pertamina.

“Catatan kami terkait proses transparansi commodity trading EITI, Pertamina harus lebih banyak meningkatkan aspek-aspek terkait transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik,” katanya.

Wakil Sekjen Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) Muhammad Herwan mengungkapkan hal krusial lainnya adalah memastikan CPI menyelesaikan seluruh kewajiban-kewajibannya, seperti kewajiban keuangan kepada negara, sosial dan lingkungan. Termasuk pengembalian data-data teknis yang sangat penting.

“Kami mendesak kepada Pemerintah untuk membuka dokumen kontrak Indonesia dengan CPI agar jelas kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dipatuhi dan apakah kewajiban tersebut telah dilakukan,” kata Herwan.

Transparansi tersebut juga termasuk dengan proses dan hasil transisi Blok Rokan yang dikawal oleh Tim Alih Kelola yang terdiri dari SKK Migas, PHR dan CPI. Pemerintah harus terbuka kepada publik, mana yang berhasil dan mana yang belum tercapai.

“Mulai dari bagaimana CPI mempertahankan produksi, migrasi data dan teknologi, pengadaan listrik maupun ketenagakerjaan.

Menurut dia temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 menyebut terdapat potensi kerugian negara sekitar US$ 336,1 juta atau setara Rp 4,4 triliun, akibat belum terpenuhinya kewajiban keuangan oleh kontraktor migas terhadap wilayah kerja yang sudah mengalami terminasi.

Sebanyak 141 WK tidak menjalankan kewajiban Environmental Based Assessment (EBA) dan data-data hasil survei yang tidak diserahkan ke pemerintah karena pelaku kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) kabur.

“Hal ini tidak boleh terjadi dalam konteks Alih Kelola WK Rokan. Belum lagi dengan masalah Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) di wilayah WK Rokan yang menuai protes dan bahkan gugatan dari publik, harus menjadi tanggung jawab CPI,” ujarnya.

Potensi Partisipasi Daerah Mengelola Blok Rokan

Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan dan Aksi Demokrasi (LPAD) Riau, Ikhsan Fitra, menjelaskan bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Hak Partisipasi (Participating Interest) 10% pada Wilayah Kerja Migas, membuka peluang bagi daerah terlibat dalam pengelolaan Blok Rokan.

Baik provinsi maupun kabupaten, dapat berpartisipasi, sekaligus mendapatkan manfaat dalam pengelolaan blok ini melalui PI 10%. Namun, ia mempertanyakan BUMD mana yang nantinya akan ditunjuk mengelola PI tersebut.

Apakah pemerintah daerah hanya sekedar menikmati dividen dari hak 10% atau ada upaya untuk turut serta mengelola Blok Rokan dengan pengalaman sejumlah BUMD Riau.

“Kami menuntut transparansi pembahasan hak PI di Blok Rokan. Buka seluasnya keterlibatan publik termasuk masyarakat sekitar tambang. Jangan sampai, pengelolaan PI di Blok Rokan hanya menjadi sasaran pemburu rente baru,” ujarnya.

Sumber: Katadata (https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/61126b3ca6bd4/erick-thohir-alih-kelola-blok-rokan-kado-hut-kemerdekaan-ri-ke-76)