JAKARTA – Koalisi Publish What You Pay Indonesia mengapresiasi diterbitkannya Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Tahun Fiskal 2014, sekaligus Peta Jalan (Roadmap) Transparansi pengendali (pemilik sesungguhnya) perusahaan (Beneficial Ownership-BO) serta Portal Keterbukaan Industi Ekstraktif di Indonesia oleh Kemenko. Hal tersebut merupakan bentuk komitmen Pemerintah Indonesia dan atas partisipasi multi-pemangku kepentingan baik dari kalangan industri dan masyarakat sipil untuk mendorong keterbukaan informasi dan transparansi sektor industri ekstraktif yang akuntabel di Indonesia. Hal tersebut sekaligus mempertahankan status ‘compliance’ Indonesia dalam keanggotaan standar global EITI.

Melalui pengembangan portal industri ekstraktif, masyarakat juga diharapkan semakin mudah mengakses dan menelusuri data dan informasi industri ekstraktif secara interaktif dan mudah dipahami.

Sesuai standar EITI, seluruh negara anggota EITI wajib membuka dan mempublikasikan nilai pembayaran-pembayaran (pajak, non-pajak maupun dividen) yang direkonsiliasi secara independen, bagaimana aliran pembayaran terjadi, dana bagi hasil ke sub-nasional, serta informasi kontekstual lainnya seperti perdagangan (ekspor-impor), kontribusi ekonomi industri ekstraktif, sistem kontrak dan perijinan, informasi kadaster/peta, dana bagi hasil serta informasi lainnya seperti kepemilikan perusahaan yang sesungguhnya. Siapa yang wajib membuka data? EITI mewajibkan pembukaan data dan informasi dari pihak Pemerintah maupun pelaku industri, baik multi-national company (MNC) maupun BUMN dimana industri tersebut beroperasi. Di Indonesia, sektor industri ekstraktif yang diwajibkan oleh EITI meliputi sektor migas, mineral (nikel, tembaga, emas, timah, dan bauksit), serta sektor batubara.

Lukita Dinarsyah, Sekretaris Kemenko Perekonomian menyampaikan dalam pidato pembukaannya saat peluncuran laporan yang berlangsung di Graha Sawala-Kantor Kemenko Perekonomian pada Rabu 24 Mei 2017: “Sejalan dengan pelaksanaan EITI, pada tahun 2006, Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Anti Korupsi – UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) melalui UU No.7/20016. Sebagai tindak lanjutnya disusun Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang ditetapkan dengan Perpres 55/2012, dimana penjabaran Stranas tersebut melalui Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), dimana penerbitan laporan sesuai standar EITI merupakan salah satu Aksi PPK yang dilaksanakan oleh Kemenko Perekonomian RI”.

Maryati Abdullah-Koordinator Nasional PWYP Indonesia mengapresiasi Tim Pelaksana yang terdiri atas pemerintah, swasta dan masyarakat sipil yang telah bekerja keras menyelesaikan laporan EITI dan peta jalan pembukaan BO tersebut. “Terbitnya Laporan EITI sekaligus membuktikan komitmen Indonesia dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor industri ekstraktif. Lebih lanjut dikatakan “Penyusunan road map pembukaan beneficial ownership selain melalui EITI, juga merupakan komitmen Indonesia melalui sejumlah kesepakatan internasional, diantaranya : Rekomendasi 24 dan 25 Financial Action Task Force (FATF); G20 High Level Principle on Beneficial Ownership and Transparency; The global standard on Automatic Exchange of Information (AEOI) terkait Beneficial Ownership” imbuh Maryati, yang juga merupakan wakil Asia Pasifik dalam Global Council Publish What You Pay.

Aryanto Nugroho, perwakilan masyarakat sipil di Tim Pelaksana EITI berharap bahwa hasil temuan dan rekomendasi EITI dapat ditindaklanjuti oleh berbagai Instansi dan Pihak terkait demi perbaikan tata kelola Industri Ekstraktif yang lebih luas, agar laporan tidak sekedar menjadi laporan semata “termasuk masih adanya ketidak-patuhan perusahaan yang sulit diidentifikasi, hal tersebut merupakan efek dari proses pemberian ijin pertambangan yang tidak sesuai persyaratan dan serta tidak akuntabel” Aryanto menambahkan, terkait transparansi, perlu ditingkatkan secara lebih berkualitas lagi bagaimana level keterbukaan kontrak/ijin, dan juga informasi peta atau kadaster.

Peta Jalan Transparansi Beneficial Ownership Indonesia
Standar EITI terbaru juga mewajibkan pembukaan data per 1 Januari 2020. Sebelum menuju ke sana, per 1 januari 2017 negara- negara anggota EITI diwajibkan untuk membuat Peta Jalan Transparansi Beneficial Ownership yang terdiri atas beberapa langkah-langkah kebijakan dan penyiapan menuju keterbukaan Beneficial Ownership di sektor Industri Ekstraktif. Nantinya, keterbukaan tersebut akan meliputi nama, kebangsaan, dan negara asal dari pemilik manfaat/pengendali sesungguhnya dari perusahaan-perusahaan di industri tambang dan migas.

Roadmap Transparansi Beneficial Ownership Indonesia menyebutkan 3 (tiga) tahapan yang harus dilakukan menuju 1 Januari 2020, yaitu Tahap pertama, (2017) Mendefinisikan Beneficial Ownership dalam Konteks Indonesia yang akan menghasilkan definisi, indikator, konsep tailor-made dari keterlibatan pebisnis dalam kegiatan politik (Politically Exposed Person-PEP) dan kewajibannya, tingkat informasi yang akan diungkap, dan kerangka umum desain transparansinya (database, jaminan data, pengumpulan data, ketepatan waktu). Tahap kedua membangun dan mengembangkan kelembagaan serta kerangka legal Beneficial Ownership menghasilkan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mendukung transparasi Beneficial Ownership; dan Tahap Ketiga (2019) Implementasi transparansi Beneficial Ownership termasuk mekanisme monitoring serta pemberian insentif dan dis-insentif atas pelaksanaan Beneficial Ownership.

Maryati menegaskan pelaksanaan roadmap transparansi Beneficial Ownership harus sejalan dengan semangat reformasi perbaikan tata kelola di sektor ekstraktif. “Roadmap ini tidak boleh hanya sekedar menambah tumpukan dokumen tanpa ada langkah- langkah nyata. Pemerintah harus benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan seluruh tahapan menuju Transparansi Beneficial Ownership. Termasuk bagaimana mengkoordinasikan seluruh stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kemenkumham, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mempercepat implementasi serta menghilangkan hambatan menuju transparansi Beneficial Ownership.”

“Secara makro, ketiadaan informasi Beneficial Ownership dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi dan pendapatan negara, terutama akibat penghindaran pajak (tax avoidance). Studi PWYP Indonesia (2016) mengungkapkan penyebab utama terjadinya Tax avoidance yaitu data wajib pajak orang pribadi/perusahaan yang lemah atau tidak valid dan kurang update; Praktik penghindaran pajak berganda (Double Tax Avoidance, DTA), yang dipicu informasi tidak valid; serta masih terdapat masalah regulasi dalam pembukaan data BO.” ungkap Maryati.

Maryati menambahkan, pengungkapan informasi Beneficial Ownership dapat mencegah terjadinya aliran uang haram (illicit financial flow/IFF) “Berdasarkan laporan Global Financial Integrity tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit financial flow/IFF) terbesar di dunia. IFF di Indonesia tahun 2003-2012 mencapai US$187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per tahun. Tahun 2014, IFF Indonesia diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau setara 11,7 persen APBN-P pada tahun tersebut. Di sektor Pertambangan, diperkirakan Rp 23,89 triliun, sebesar Rp 21,33 triliun berasal miss-invoicing trade, dan Rp 2,56 triliun dari aliran uang panas/hot money narrow.”

Aryanto menyebutkan bahwa pengungkapan informasi Beneficial Ownership memudahkan aparat penegak hukum untuk pencarian identitas dalam membongkar kasus pidana, memudahkan pencarian dan pembuktian tindak pidana pencucian uang (TPPU), serta memaksimalkan pemulihan aset (asset recovery) dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

“Keterbukaan Beneficial Ownership juga memudahkan pemerintah untuk melakukan penagihan piutang PNBP atas perusahaan-perusahaan migas dan tambang yang belum memenuhi kewajibannya. Di sektor minerba misalnya, terhambatnya penyelesaian Piutang PNBP dari ribuan pelaku usaha IUP sekitar Rp 3,949 triliun, salah satunya karena ketidakjelasan alamat pemegag IUP ataupun pemilik IUP.” terang Aryanto

“Hal tersebut juga terjadi di sektor migas dimana hasil temuan Korsup Energi KPK didapatkan piutang PNBP dari 143 KKKS meliputi sisa komitmen pasti di 25 wilayah kerja sebesar US$ 310 juta, bonus tanda tangan US$ 2,5 juta, barang dan jasa US$ 575 ribu, dan jaminan operasi US$ 5,8 juta. Hambatannya juga sama, kesulitan melacak keberadaan KKKS tersebut” jelas Aryanto.

Catatan Redaksi

  1. EITI merupakan suatu standar internasional tentang pelaporan penerimaan negara dari industri ekstraktif (minyak, gas, batubara dan mineral) yang prosesnya melibatkan pemerintah, bisnis dan kelompok masyarakat sipil. EITI telah diterapkan di 51 negara di dunia termasuk Indonesia, dan telah diakui sebagai standar global untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara dan pembayaran perusahaan dari industri ekstraktif.
  2. Pelaksanaan EITI di Indonesia berdasarkan pada Peraturan Presiden No. 26 tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif.
  3. Pada Oktober 2010 Indonesia memperoleh status “Candidate Country” (Negara Kandidat) dan setelah dinilai memenuhi ketentuan EITI Standard 2013, Indonesia berhasil menerima status “Compliant Country” pada 15 Oktober 2014.
  4. Standar EITI 2016 dapat diunduh di link berikut : https://eiti.org/document/standard
  5. Laporan-laporan EITI, Siaran Pers, data serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan EITI dapat dilihat di http://eiti.ekon.go.id/ dan http://www.eiti.org/
  6. Portal industri ekstraktif dapat diakses di : http://portal-ekstraktif.ekon.go.id/