Kejagung harus menelusuri ke mana aliran dana dari dugaan mark-up ini mengalir. Jangan sampai terkesan nilai korupsi fantastis, tetapi tidak dapat ditelusuri siapa penerima manfaatnya.

Dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang kini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai jadi indikasi buruknya pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. dalam satu dekade terakhir. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi momentum perbaikan sistemik dalam tata kelola migas, bukan sekadar pergantian aktor mafia migas.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, menyoroti bahwa dugaan korupsi ini melibatkan berbagai aspek dalam rantai pasok migas selama periode 2018-2023.

“Kejagung harus menelusuri ke mana aliran dana dari dugaan mark-up ini mengalir. Jangan sampai terkesan nilai korupsi fantastis, tetapi tidak dapat ditelusuri siapa penerima manfaatnya,” tegas Aryanto.

Ia mengungkapkan ada empat indikasi praktik korupsi yang terjadi. Pertama, dugaan manipulasi Rapat Optimasi Hilir (OH) untuk menurunkan produksi kilang domestik sehingga minyak mentah dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan berujung pada peningkatan impor.

Kedua, dugaan mark-up dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Ketiga, dugaan penggelembungan biaya kontrak pengiriman minyak (shipping). Keempat, dugaan manipulasi blending RON 90 atau lebih rendah di storage/depo untuk dijual sebagai RON 92.

PWYP Indonesia menegaskan bahwa perbaikan tata kelola migas harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematis. Jika tidak, kasus ini hanya akan menggantikan satu mafia migas dengan mafia lainnya. Aryanto mengingatkan bahwa peringatan terkait buruknya tata kelola migas sudah disampaikan sejak satu dekade lalu oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang diketuai Faisal Basri.

Terdapat empat rekomendasi TRTKM yang seharusnya dijalankan pemerintah untuk mencegah kasus seperti ini. Pertama, menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35% sulfur, dan menggantinya dengan Mogas 92 dan Gasoil 0,25% sulfur. Kedua, menata ulang proses pengadaan dan penjualan minyak mentah dan BBM, termasuk membubarkan Petral dan melakukan audit forensik.

Ketiga, menetapkan harga eceran BBM dengan formula yang stabil, transparan, dan terbuka bagi masyarakat. Keempat, memperbarui kilang lama dan membangun kilang baru untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Namun, rekomendasi ini sebagian besar tidak dijalankan. Pemerintah malah memperkenalkan RON 90 (Pertalite) sebagai pengganti RON 88, audit forensik terhadap Petral tak jelas nasibnya, dan pembaruan kilang selalu tertunda. Sementara itu, impor minyak terus meningkat, subsidi BBM semakin membebani APBN, dan armada kapal tanker untuk pengangkutan minyak tidak bertambah secara signifikan.

“Kami menduga ada upaya mempertahankan kondisi di mana Indonesia terus bergantung pada impor minyak, sehingga mafia migas dan pemburu rente bisa terus meraup keuntungan,” ujar Aryanto.

PWYP juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam sektor migas Indonesia. Berdasarkan validasi pelaksanaan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia pada akhir 2024, Indonesia hanya memperoleh skor 67 dari 100, dengan skor transparansi yang paling rendah, yaitu 63,5.

“Banyak data perdagangan minyak yang masih belum terbuka untuk publik. Laporan perdagangan komoditas migas EITI 2018, misalnya, menunjukkan bahwa data dari 80% transaksi perdagangan minyak tidak dimasukkan dalam laporan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah dan Pertamina masih belum sepenuhnya transparan dalam ekspor dan impor minyak,” kata Aryanto.

PWYP juga mendesak agar ada peningkatan partisipasi publik dalam pengawasan tata kelola migas untuk mencegah terjadinya asimetri informasi.

Saat ini, publik kebingungan dengan istilah teknis seperti blending dan oplosan, serta perbedaan pendapat antara Kejagung, Pertamina, dan Komisi VII DPR terkait dugaan pengoplosan impor minyak dari RON 90 menjadi RON 92. Selain itu, nilai kerugian negara yang disebut mencapai Rp193,7 triliun semakin memicu polemik.

“Agar tidak menjadi bola liar, pemerintah, Pertamina, dan instansi terkait harus menjelaskan secara gamblang mekanisme pengadaan minyak, blending, pengapalan, distribusi, serta pemanfaatan subsidi BBM. Ini langkah awal untuk memperbaiki tata kelola migas secara sistemik dan integral,” tegas Aryanto.

PWYP menegaskan bahwa Kejagung harus mengusut kasus ini secara transparan dan profesional hingga ke akar-akarnya. Namun, reformasi sistem tata kelola migas tetap menjadi hal yang lebih penting agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.

Sumber: Hukum Online


Bagikan