Jakarta – Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) adalah topik yang krusial untuk dimasukan ke dalam penyusunan kebijakan pembangunan. Mouna Wasef selaku Project Manager of GEDSI in Energy Transition PWYP Indonesia, serta Rahmi Hertanti, Researcher, memaparkan kajian yang berjudul Pengarusutamaan GEDSI dalam Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia di Jakarta. Hadir sebagai penanggap di forum ini antara lain Edi Wibowo, Direktur Biro Energi, Dirjen Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM. Lalu ada Ibu Dini Deputi Bidang Kemaritiman dari Barnas yang mewakili Vivi Juliastati, Deputi Bidang Kemaritiman, Diah Roro Widiastuti, Anggota Komisi VII DPR RI bidang Energi Terbarukan partai Golkar. Ada juga Ibu Leni Nurhayati Rosaline, Deputi Bidang Kesetaraan Gender, KPPPA. Direktur SAPdA (Sentra Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak, dan Ibu Grita Anindarini, Direktur Program Indonesia Center for Environmental Law atau ICEL. Acara ini dilaksanakan pada 15 Juni 2023.

Kajian ini membahas sektor energi dari hulu hingga hilir. Harapannya, kajian ini dapat dikembangkan lebih komprehensif lagi dan dapat digunakan sebagai kerangka dasar pemikiran untuk menganilisis lebih lanjut terkait ketimpangan atau ketidakadilan gender dalam perspektif GEDSI dalam transisi energi berkeadilan Indonesia.

Sementara itu, isu transisi energi menjadi semakin penting di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap perubahan iklim, ketergantungan terhadap sumber daya energi yang terbatas, dan dampak negatif lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan energi fosil. Transisi energi tidak hanya melibatkan perubahan teknologi dan infrastruktur, tetapi juga melibatkan perubahan sosial, ekonomi, dan kebijakan. Di Indonesia, transisi energi berkeadilan menjadi semakin penting mengingat tantangan lingkungan dan sosial yang dihadapi. Maka, dapat disimpulkan bahwa masuknya topik sudut pandang GEDSI dalam sektor Energi merupakan sebuah topik yang relatif belum umum dibahas. Oleh karena itu, Publish What You Pay Indonesia mengangkat topik Transisi Energi pada sudut pandang GEDSI sebagai sebuah momentum untuk mengarusutamakan topik tersebut. 

Berawal dari kerangka regulasi yang sudah ada, yakni UU No. 30 tahun 2007 tentang transisi energi untuk kesejahteraan nasional dan beberapa turunannya terkait perencanaan energi nasional. Terdapat beberapa catatan terkait topik kajian ini. Bahwa agenda transisi energi Indonesia masih melekat pada dominasi solusi palsu. Hal tersebut merupakan catatan besar, karena pemerintah masih bergantung pada transisi energi dari fosil.  Lalu yang kedua, pemakanaan transisi energi yang sempit. Hanya melihat bahwa kita butuh transisi energi dari sistem energi lama ke sistem energi baru. Rahmi juga menyinggung bahwa analisa kajian ini juga dirumuskan oleh Hopkins yakni sebagai suatu rantai sistem energi baik dalam aspek pertambangan, produksi, pengelolaan, konsumsi, distribusi bahkan hingga pengelolaan limbah seperti apa yang mana penting untuk melekatnya analisis hulu menuju hilir. Maka dari itu, ketika kita bicara soal analisis persoalan yang dihadapi oleh kelompok rentan dalam konteks pendekatan GEDSI.

Rachmi  melihat ada 2 ruang lingkup pendekatan yang penting untuk pengarusutamaan GEDSI. Yakni, bagaimana kita melihat GEDSI dalam bisnis ekstraksi energi dan yang kedua, GEDSI dalam program konversi energi. Penulis juga mencoba merumuskan konsepsi GEDSI yang tepat dan apa yang dibutuhkan oleh GEDSI dalam proses transisi energi yang berkeadilan di Indonesia. Paling tidak konsepsi ini bisa menjadi landasan pemikiran, yang dicoba adopsi dari beberapa pemikiran utama terkait dengan transisi berkeadian, keadilan energi, dan keterlibatan GEDSI yang berujung pada top and down dengan indicator yang sudah ada seperti APKM. Tetapi hal penting yang menjadi catatan kita adalah mengadopsi transisi berkeadilan dan transisi energi atau energi berkeadilan itu juga aspek APKM atau aspek indikator GEDSI. 

Sementara itu, Mouna menjelaskan prinsip yang seharusnya masuk ke dalam pengarusutamaan GEDSI dalam bisnis ekstraksi untuk transisi energi. Prinsip tersebut antara lain; Proses Pengambilan Keputusan (Partisipasi dan control), Ekonomi (Manfaat), Akses terhadap sumber daya, Integrasi sosial-budaya, dan Remedial. Ruang lingkup meliputi program konversi kendaraan listrik dan efisiensi energi pada alat rumah tangga, termasuk peralihan ke kompor listrik.  Pengarus utamaan GEDSI dalam program konversi energi juga meliputi program konversi kendaraan listrik dan efisiensi energi pada pengambilan keputusan (partisipasi dan control). 

Secara keseluruhan, Rachmi dan Mouna memberikan poin-poin rekomendasi sebagai hasil dari kajian ini, yakni:

  1. Mendorong efektivitas pengarusutamaan GEDSI dalam transisi energi berkeadilan di Indonesia, perlu disusun kerangka regulasi yang menjadi landasan hukum untuk membentuk sebuah kelembagaan dengan dukungan anggaran yang memadai, yang secara khusus akan menjalankan agenda pengarusutamaan GEDSI. Kerangka regulasi ini bisa melengkapi teknis operasionalisasi pengarusutamaan GEDSI dalam implementasi UU No. 30/2007 tentang Energi dan PP No. 79/2014 sebagai dasar hukum pengelolaan energi secara nasional. Hal ini penting agar adanya kebijakan program – anggaran yang ditujukan secara spesifik pada kelompok rentan dan penyandang disabilitas dalam agenda transisi energi.
  2. Kehadiran kelembagaan untuk implementasi pengarusutamaan GEDSI dalam transisi energi berkeadilan perlu juga dilengkapi dengan mekanisme remedial action yang efektif, baik dalam menyediakan mekanisme pemberian masukan dan komplain yang adil dan dapat diakses oleh masyarakat dalam melakukan mitigasi dampak pembangunan, termasuk mekansime mitigasi resiko dan kebencanaan yang ditimbulkan dari program transisi energi yang dilaksanakan.
  3. Dalam hal kehadiran Sekretariat JETP dibawah kewenangan Kementerian ESDM, perlu dipastikan agar prinsip dasar dalam JET framework yaitu kesetaraan gender dan  pemberdayaan perempuan menjadi landasan dalam setiap kelompok kerja. Hal

ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok kerja GEDSI yang bekerja secara adhoc dengan masa disesuaikan dengan evaluasi kebutuhan (3-5 tahun). Penting juga membangun kerjasama antarlembaga, dalam hal ini antara Kementerian ESDM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk lembaga non-kementerian yang terkait dengan aspek GEDSI seperti Komisi Nasional Disabilitas, Komnas Perempuan dan Anak, serta Ombudsman.

  1. Dalam rangka memastikan terjadinya keadilan gender dan inklusi sosial dalam transisi energi berkeadilan, pemerintah harus  menjamin bahwa regulasi terkait sektor ini menyebutkan secara eksplisit bahwa perempuan, kelompok disabilitas, dan kelompok rentan lainnya merupakan kelompok yang dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dalam proses transisi energi dan memberikan mandat adanya program dan anggaran spesifik yang ditujukan kepada kelompok rentan dan disabilitas sebagai upaya menyeimbangkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dari proses transisi energi. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan program harus memasukan aspek program yang memperkuat pemberdayaan kelompok rentan, dan anggaran yang terstatement untuk kelompok rentan, serta data sasaran terpilah gender yang lengkap.

Dini Mafira, menanggapi kajian ini dengan menyampaikan kebijakan pembangunan yang berpihak pada equity, bukan hanya equal karena kita melihat kebutuhan yang ada di lapangan. Ia berharap semoga kita terus bisa menyelesaikan pembangunan ini demi inklusivitas terutama mengedepankan GEDSI dalam pembangunan. Ia menambahkan, rekomendasi Mouna dan Rachmi perlu juga dikedepankan, apalagi karena pengambilan kebijakan itu selalu berbasis data. Maka ketersediaan data terpilah itu penting bagi pemerintah. Dini Mafira mengungkapkan bahwa dari Disable Indonesia, dan Bappenas, akan  engage dengan walidata di Indonesia, agar dapat menyediakan data yang terpilah. Sehingga ketika kita mengambil kebijakan kita bisa menggenerate semua informasi sebagai kebutuhan yang ada di lapangan. 

Leni Nurhayati Rosaline, Deputi Bidang Kesetaraan Gender, KPPPA menanggapi bahwa rekomendasi ini memang valid. Namun, pertanyaannya adalah apa langkah yang harus diambil berikutnya? Lalu mengapa? Ia mendorong peserta untuk dapat bersinergis agar seluruh komponen, tidak hanya gender dan inklusi, tapi juga difabel dapat direncanakan dengan komprehensif, dipantau, dilaksanakan, dan dievaluasi, terutama dalam menjalankan kebijakannya. 

Nurul menyampaikan masukan perlunya dievaluasi lagi kajian ini. Karena PWYP mengawali topik ini dan sifatnya adhoc. Beliau membayangkan lima tahun lagi isu ini akan menjadi lebih umum sehingga semua bagian dan program, sampai tiga tahun mungkin karena akan dievaluasi lagi.  Akan ada banyak sekali PR yang harus diselesaikant. Sehingga bisa memberikan program yang pas dan melayani dengan baik, agar mereka bisa berpartisipasi secara optimal. Dapat memberikan manfaat yang sebesarnya untuk kelompok rentan, lansia, dan anak anak. Karena tanpa afirmasi ini mereka tidak dapat berpartisipasi dalam transisi energi.

Grita dari ICEL menanggapi bahwa riset dari berbagai negara, tentang transisi energi,  isu GEDSi itu masih jadi PR besar di berbagai negara. Dari dokumen yang telah disajikan di negara ini,  terlihat adanya tantangan yang sama seperti Indonesia. Jadi belum memiliki konsep yang detil terkait bagaimana mengintegrasikan isu GEDSI ini ke dalam ranah kebijakan. Melihat pembelajaran dari berbagai negara, rata-rata masih terfokus di prinsip umum. Ketika bicara mengenai kesempatan,  perlu adanya pendistribusian secara rally, terkait gender, disabilities, dan sebagainya. Ini momentum kita untuk bisa goes beyond regulation dan kondisi saat ini di mana insu GEDSI itu masih jadi tantangan utama. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.

Sementara itu, Holi mewakili organisasi PUSAD memasukan bahwa dalam pembuatan kebijakan, selain legal substance, kita juga harus memperhatikan legal structure dan legal culture. Artinya apakah struktur pemerintahan kita mendukug adanya hal ini? Apakah budaya kita memperhatikan soal ini? 

Catatan-catatan dan masukan dari diskusi ini membuktikan bahwa implementasi GEDSI pada Transisi Energi memanglah sebuah topik yang masih dapat dikaji lebih dalam lagi dari berbagai aspek. Tentunya, pendekatan ini harus memihak pada kelompok rentan untuk mendorong adanya keberadilan bila transisi energi dapat terlaksana dengan baik.  

Penulis: Ersya Nailuvar
Reviewer: Chitra Regina Apris & Meliana Lumbantoruan