Jakarta, CNN Indonesia — Koalisi Masyarakat Sipil menganggap kebutnya pembahasan revisi Undang-undang KPK dan Undang-undang Minerba tak luput dari upaya melemahkan pemberantasan korupsi sekaligus memuluskan eksploitasi sumber daya alam.

Dugaan ini mengemuka lantaran proses kilat pembahasan sejumlah RUU kontroversial itu sarat pasal bermasalah.

Anggota koalisi yang juga Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menduga penggembosan kewenangan lembaga antirasuah lewat revisi UU KPK berkaitan dengan fokus penindakan KPK beberapa tahun belakangan.

“Kalau mau dilihat ini tidak lepas juga dari upaya KPK lima tahun ke belakang masuk ke korupsi sektor sumber daya alam,” kata Merah di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (15/9).

Dia mengatakan terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK juga menguatkan dugaan tersebut. Firli diduga ikut bermasalah dalam pelanggaran kode etik terkait kasus Newmont.

Newmont adalah salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia.

“Kami menganggap antara satu rancangan undang-undang dengan RUU lainnya, dengan rencana penggembosan KPK, dengan rencana eksploitasi sumber daya alam itu saling bertalian,” kata Merah.

Selain itu, menurut dia, semangat perubahan UU Minerba bukan untuk menjaga sumber daya alam namun justru mengeksploitasinya. Sebab, terdapat poin mengenai tak ada batas luasan pertambangan.

Merah menduga pola pengesahan RUU yang terkesan serampangan dan terburu-buru juga tak lepas dari konflik kepentingan sebagian anggota DPR terkait bisnis sumber daya alam.

Dia menjelaskan draf perundangan tersebut menghilangkan pasal mengenai jerat pidana bagi pejabat yang terbukti menyalahgunakan kewenangan pemberian izin tambang.

Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) draf UU Minerba, kata Merah, ada pasal yang dihilangkan terkait pasal korupsi, yaitu pasal 165.

“Dalam UU yang saat ini berlaku mengatakan bahwa pejabat yang menyalahgunakan izin pertambangan itu dapat dipidana korupsi. Ini dihilangkan dalam naskah RUU Minerba ini,” ujar Merah.

Aksi teatrikal Gerakan Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia di depan Gedung KPK, Jakarta, Jumat, 5 Juli 2019. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Dugaan Kejahatan Legislasi

Anggota koalisi yang juga Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menambahkan, sepak terjang KPK dalam menyusur buruknya tata kelola pertambangan bukan saja mengusik sebagian orang. Baik di tingkat penindakan, maupun pada tahap pencegahan.

“Di tambang itu ada 11 ribu izin tambang, setelah KPK masuk, ketahuan bahwa kalau 60 persen izin itu bermasalah. Akhirnya jadi 3.000, hampir 8.000 itu ditertibkan KPK,” kata Aryanto.

Lebih jauh, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryan menyebut ada dugaan kejahatan legislasi berupa barter pengesahan undang-undang.

Kecurigaan ini berdasar analisisnya terhadap proses cepat pengesahan sejumlah RUU. Dia menyebut, misalnya pada revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

“Ini saya melihat perubahan UU MD3 ini barter dengan UU KPK.

Dia mengatakan 10 fraksi di DPR awalnya masih berbeda pandangan soal revisi UU KPK. Namun, kata Agil, mereka kemudian menyetujui revisi itu asalkan kursi pimpinan MPR dibagi rata.

“Makanya kemudian politik legislasinya adalah sahkan dulu UU MD3. Makanya semalam itu sangat cepat dilakukan. Tidak kurang satu atau dua jam mereka sepakat,” ujar Agil.

Karena itu pula aktivis antitambang Merah Johansyah menambahkan, saat ini kompensasi politik bukan lagi terbatas pada bagi-bagi kursi kekuasaan melainkan juga produk legislasi.

“Produk legislasi adalah bagian dari kompensasi politik oleh partai-partai ini,” katanya.

Dia mengatakan pembahasan yang terkesan terburu-buru, terkait RUU pertanahan, RUU Minerba, RUU Sumber Daya Air dan lain-lain adalah bagian dari potret besar kejahatan legislasi dan kompensasi politik. Baik bagi-bagi proyek maupun konsesi berupa kekuasaan baru.