PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Persoalan dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (Migas) di Provinsi Riau sempat memanas. Itu setelah Bupati Meranti M Adil mengamuk kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan meminta agar ada transparansi bagi hasil.
Setelah dipersoalkan Bupati Adil, transparansi DBH Migas mulai menjadi sorotan. Salah satunya datang dari Civil Society Organization (CSO) Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia. CSO EITI Indonesia Rocky Ramadani menyampaikan bahwa perlu adanya transparansi ataupun keterbukaan informasi data produksi migas (lifting) oleh masing-masing stakeholder, yaitu Kementerian ESDM, SKK Migas, KKKS, dan Kemenkeu.
Menurut dia, selama ini persoalan DBH disebabkan komunikasi dan informasi dari Kementerian ESDM, SKK Migas, KKKS, Kemenkeu kepada daerah penghasil migas sangat sulit didapatkan.
“Data Kementerian ESDM yang dipakai oleh Kemenkeu untuk dasar pembagian DBH SDA-nya justru yang sering jadi pertanyaan. Itulah yang kemudian dijadikan argumen bupati terkait data lifting misalnya, pakai data SKK, Dirjen Migas atau data yang mana. Ini yang patut diperjelas kepada daerah,” sebut Rocky, Senin (23/1/2023).
Rocky menyebut, pemerintah daerah juga dituntut proaktif dalam mendapatkan maupun mensinkronkan informasi dari data tersebut.
“Jangan hanya menunggu saja, pemda Riau dan kabupaten/kota khususnya, mesti jemput bola untuk mendapatkan data yang akurat dan informasi terkait implikasi Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah,” sambungnya.
Dikatakan Rocky, sejauh mana daerah memahami implikasi UU HKPD No.1/2022 yang menyangkut perubahan formula DBH sumber daya alam. Ditambah lagi PP-nya belum selesai.
“Tentu ini juga akan menambah ruwetnya dana bagi hasil migas. Kemenkeu mesti menjelaskan kepada daerah, formula mana yang mesti digunakan dalam penghitungan DBH Migas. Apakah formula baru ataukah formula lama. Karena PP-nya belum selesai,” sambungnya.
Selama ini menurut Rocky yang terjadi pada Forum Rekonsiliasi DBH SDA, sering kali pemkab tidak dilibatkan. Yang dilibatkan hanya Bapenda provinsi. Kalaupun pemkab dilibatkan, itu hanya sebagai ajang sosialisasi pusat ke daerah.
“Ke depan tentu hal ini mesti jadi prioritas pemerintah pusat agar pada forum rekonsiliasi harus melibatkan pemerintah daerah, terutama daerah penghasil. Sehingga tidak ada lagi pemda yang merasa pembagiannya tidak adil,” pungkasnya.
Laporan: Afiat Ananda (Pekanbaru)
Editor: Edwar Yaman
Sumber: Riau Pos