JAKARTA, KOMPAS — Penuntasan sekitar 3.000 izin usaha pertambangan mineral dan batubara bermasalah molor akibat keengganan para bupati menyerahkan personel, prasarana, pembiayaan, dan dokumen (P3D) IUP kepada gubernur. Kementerian Dalam Negeri didesak untuk memberikan sanksi kepada daerah yang menghambat penuntasan IUP bermasalah itu.

Menurut Ketua Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria, di Jakarta, Selasa (30/8), dampak dari keengganan bupati menyerahkan data perizinan itu ialah gubernur menjadi tidak bisa menggunakan kewenangannya memberikan peringatan, menciutkan, atau mencabut IUP bermasalah.

Berdasarkan data KPK, dari 10.172 IUP pertambangan, ada 3.966 IUP bermasalah pada Februari 2016. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan KPK bersepakat untuk menuntaskan IUP bermasalah itu maksimal tanggal 12 Mei 2016 (Kompas, 16/2). Adapun IUP itu bermasalah, antara lain, karena penerbitan IUP ganda di kawasan sama, IUP dengan alamat tidak valid, IUP di kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, atau pemegang IUP tak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Gubernur sudah mendapat kewenangan menuntaskan IUP bermasalah, termasuk mencabutnya, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan ini juga diperkuat lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, hingga Agustus 2016, masih ada 3.772 IUP bermasalah.

Sebelumnya, kewenangan menerbitkan dan mencabut IUP ada pada bupati.

Menurut Dian Patria, baru ada sekitar 1.000 IUP bermasalah yang dilaporkan bupati-bupati kepada gubernur untuk ditindaklanjuti. Namun, ada pula bupati yang sudah melapor, tetapi gubernur belum menindak pemegang IUP itu.

“Mereka berpegangan pada UU No 4/2009 (tentang Minerba) bahwa kewenangan itu ada di bupati. Jadi, mereka benturkan UU Pertambangan dengan UU Pemda,” kata Dian.

Selain itu, kata dia, ada pula bupati yang berargumentasi bahwa batas penyerahan data IUP itu jatuh pada Oktober 2016, sesuai dengan aturan UU No 23/2014. Dian menduga ada pula bupati yang menunda penyerahan data karena menunggu uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan penyerahan kewenangan IUP dari bupati ke gubernur. Oleh karena itu, dia berharap Kementerian Dalam Negeri yang memiliki fungsi pembinaan kepada pemda bisa mendorong mereka untuk segera melaporkan IUP itu. “Harus ada kerja sama (antarpemangku kepentingan). Juga sudah diketahui ada kasus (tambang ditangani KPK) bukan tidak mungkin sudah ada data pendukung awal dan (kasus serupa) bisa muncul di daerah lain,” kata Dian.

Biaya politik

Belum lama ini KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus korupsi perizinan tambang nikel seluas 3.084 hektar di Kabupaten Bombana dan Buton kepada PT PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) tahun 2009-2014. Dia diduga menerima kick back atau komisi.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menambahkan, minimnya bupati yang melaporkan data IUP bermasalah karena ada motif politik. Menurut dia, bukan rahasia lagi bahwa sebagian bupati memanfaatkan izin pertambangan untuk menyokong biaya politik mereka saat pemilihan kepala daerah sehingga mereka enggan menyerahkan data ke gubernur.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, mendorong menteri ESDM mengambil alih penertiban IUP bermasalah jika sampai batas waktu yang ditentukan, pemerintah kabupaten atau kota tidak juga menyelesaikan serah terima P3D kepada pemerintah provinsi. (GAL)

Sumber: Kompas Cetak (31/8/2016)