TIZA Mafira langsung bereaksi begitu Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar mengumumkan rencana revisi Taksonomi Hijau Indonesia. Tiza, yang menjabat Direktur Climate Policy Initiative (CPI), mengontak koleganya, seorang pejabat OJK, mengenai rencana itu. Pejabat tersebut, Tiza mengungkapkan, mengatakan akan mengundang CPI untuk membahas materi revisi Taksonomi Hijau. “Katanya mereka butuh masukan dari akademikus,” ucap Tiza kepada Tempo pada Rabu, 13 September lalu.
OJK merilis Taksonomi Hijau Indonesia pada Januari 2022. Taksonomi Hijau adalah klasifikasi kegiatan ekonomi berdasarkan penilaian atas aktivitas bisnisnya, apakah memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tata kelola yang baik atau sebaliknya. OJK menyusun Taksonomi Hijau berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI yang terdiri atas 2.733 sektor. Taksonomi Hijau menjadi panduan bagi bank dan lembaga keuangan untuk menyalurkan pendanaan pada sektor usaha berdasarkan risiko atau dampaknya terhadap lingkungan. Ini juga yang menjadi salah satu indikator ekonomi hijau.
Dalam daftar ini, OJK memberi label warna. “Hijau” berlaku untuk sektor usaha yang melindungi dan memperbaiki kualitas lingkungan. “Kuning” diberikan pada sektor yang dianggap melindungi lingkungan apabila memenuhi standar tertentu. Adapun “Merah” mencakup sektor usaha yang tidak memenuhi standar ramah lingkungan. Label warna ini menjadi dasar penyusunan insentif dan disinsentif, pedoman keterbukaan informasi dan manajemen risiko, hingga penciptaan produk atau proyek berorientasi lingkungan atau pembiayaan hijau.
Tatkala OJK mengumumkan rencana revisi Taksonomi Hijau, ada hal yang mengejutkan Tiza dan para aktivis lingkungan lain. OJK hendak memasukkan batu bara dan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang awalnya berlabel merah, ke label hijau. Label hijau berlaku apabila PLTU batu bara itu sedang masuk proses transisi energi sehingga layak mendapatkan pembiayaan berkelanjutan. Perubahan ini yang memicu kehebohan, sekaligus bermacam dugaan.
Saat menyusun Taksonomi Hijau, OJK mengkaji 2.733 sektor usaha yang akan masuk kategori tertentu. Ambang batas dampak lingkungan sebanyak 919 usaha telah terklarifikasi. Dari jumlah itu, rupanya hanya 15 sektor usaha yang memenuhi kriteria hijau, selebihnya masuk kategori kuning dan merah. OJK kemudian menjalankan proyek percontohan pada Juli 2022 terhadap 17 bank umum. Bank-bank ini harus melaporkan penyaluran kredit kepada debitor besar. Dengan basis kriteria tersebut, OJK dan bank bisa menentukan debitor mana yang berhak memperoleh pembiayaan berkelanjutan, yang modalnya antara lain berasal dari obligasi berorientasi lingkungan.
Pada September 2022, OJK menggelar Survei Implementasi Keuangan Berkelanjutan, yang memuat Taksonomi Hijau Indonesia versi 1.0. Namun setelah itu muncul beberapa kejadian yang akhirnya menjadi dasar bagi OJK untuk merevisi Taksonomi Hijau.
Pada September itu pula terbit Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Salah satu poin penting aturan ini adalah pengecualian moratorium pembangunan PLTU batu bara untuk kebutuhan sendiri yang tak masuk jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Pemerintah memperbolehkan pembangunan PLTU batu bara baru asalkan hanya digunakan pada kawasan industri atau proyek pengolahan sumber daya alam.
Para pengembang kawasan industri atau pemilik fasilitas pengolahan sumber daya alam, seperti smelter mineral, boleh membangun PLTU semacam ini asalkan memenuhi beberapa syarat. Mereka harus bisa mengurangi emisi gas rumah kaca 35 persen setelah 10 tahun mengoperasikan PLTU off-grid atau yang berada di luar jaringan PLN tersebut. PLTU itu pun hanya bisa beroperasi sampai 2050.
Di Asia Tenggara juga muncul sejumlah pemicu perubahan Taksonomi Hijau. Bank Pembangunan Asia (ADB), misalnya, mensponsori skema Energy Transition Mechanism (ETM), pendanaan murah untuk proyek penghentian dini operasi PLTU di Indonesia. Ada pula skema Just Energy Transition Partnership atau JETP, komitmen pendanaan US$ 20 miliar dari negara-negara maju untuk proyek transisi energi.
Puncaknya terjadi pada Maret lalu, saat ASEAN Taxonomy Board (ATB) menerbitkan dokumen ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance atau ASEAN TSF 2.0. ATB, lembaga yang dibentuk oleh para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota ASEAN, kemudian memperbarui dokumen itu pada Juni. Dalam dokumen terbaru, ATB mengakui proyek pensiun dini PLTU batu bara sebagai sektor “hijau” apabila disertai rencana pembangunan pembangkit listrik energi bersih. “Di negara atau forum internasional lain, pengakhiran dini PLTU batu bara dikaitkan dengan pembangunan pembangkit listrik energi baru-terbarukan,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar pada Selasa, 5 September lalu.
OJK pun memulai proses revisi Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 dengan mengadopsi ASEAN TSF 2.0. Namun dokumen Konsep Pengkinian Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0 yang disusun Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK menyebutkan materi revisi tak hanya mengadopsi ASEAN TSF, tapi juga sesuai dengan “kepentingan nasional”. Revisi Taksonomi Hijau versi OJK juga mempertimbangkan masukan industri, dari pemberi pinjaman seperti perbankan hingga industri pengguna dana seperti perusahaan batu bara dan sawit.
Ihwal kepentingan nasional, misalnya, OJK menyebutkan Taksonomi Hijau harus selaras dengan integrasi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dus, Taksonomi Hijau mesti seirama dengan berbagai inisiatif pemerintah, seperti ETM, JETP, dan bursa karbon. Lebih jauh, revisi Taksonomi Hijau diharapkan dapat mendukung program pensiun dini PLTU batu bara dan harus menyokong program penghiliran sumber daya alam yang sedang dijalankan pemerintah.
Dokumen tersebut juga menyertakan masukan industri perbankan. Dalam berkas itu tertulis bahwa pelaku industri perbankan meminta peninjauan ulang sektor ekonomi yang masuk kategori merah tapi punya kontribusi besar terhadap ekonomi nasional. Mereka juga meminta OJK menimbang kembali penerapan konsep hijau, kuning, dan merah dalam Taksonomi Hijau karena bisa menjadi indikasi negative list alias daftar larangan. Misalnya bank tidak boleh menggelontorkan pinjaman lagi kepada sektor usaha yang masuk kategori merah. Padahal Taksonomi Hijau sebatas pedoman, bukan aturan.
Usulan lain perbankan adalah Taksonomi Hijau yang baru perlu mempertimbangkan usaha setiap sektor untuk mengurangi emisi. Setiap sektor yang berada di zona merah semestinya berhak naik kelas ke zona kuning atau hijau jika dalam operasi mereka berusaha lebih ramah lingkungan.
OJK juga menjaring masukan dari sektor industri yang selama ini menerima pendanaan. Serangkaian diskusi digelar bersama pelaku usaha sektor yang paling terkena dampak penerapan Taksonomi Hijau, seperti perusahaan sawit dan batu bara. Dua sektor ekonomi ini menjadi andalan Indonesia, tapi juga paling terpengaruh Taksonomi Hijau karena industrinya paling banyak masuk kategori merah dan kuning.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengaku sempat diundang OJK untuk berdiskusi di Bali pada Agustus lalu, membicarakan rencana perubahan taksonomi tersebut. Karena waktu kedatangan undangan mepet, Hendra menjelaskan, dia tak bisa memenuhinya. “Tapi ada rekan yang bergabung secara virtual,” tuturnya pada Kamis, 14 September lalu.
Menurut Hendra, anggota APBI meminta ada penghargaan lebih bagi perusahaan yang berupaya menjaga lingkungan. Dia mengatakan penghargaan itu bukan sekadar predikat Proper Emas bagi perusahaan yang telah mengelola lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan atau Proper Hijau buat perusahaan yang telah mengelola lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan sekaligus memiliki keanekaragaman hayati. “Kami sudah melewati kewajiban. Ada rekam jejaknya di pemerintah. Memperhatikan lingkungan itu butuh biaya. Harapan kami, tetap ada bantuan pembiayaan,” katanya.
Usulan industri batu bara itu kemudian masuk dokumen diskusi rencana revisi Taksonomi Hijau OJK. Menurut dokumen ini, batu bara merupakan sektor yang cukup penting bagi ekonomi Indonesia. Sejumlah perusahaan batu bara, dalam dokumen itu, disebut telah menerapkan praktik pertambangan yang baik. Karena itu, batu bara diusulkan dapat diklasifikasikan hijau apabila perancangan bisnisnya dari hulu hingga hilir terintegrasi dan jelas pemanfaatannya.
Soal ini dijelaskan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar pada Selasa, 5 September lalu. Menurut dia, OJK sedang mengkaji kemungkinan batu bara masuk kategori hijau dalam konteks tertentu, misalnya digunakan pada PLTU yang menggerakkan pabrik baterai atau kendaraan listrik. “Sebab, yang perlu dilihat pada gilirannya adalah keseluruhan hasil akhir dari satu rantai pasok,” ujar Mahendra. “Sekiranya hal tadi memberikan dampak positif lebih besar daripada tidak dilakukan, secara satu kesatuan, integrasi rantai pasok itu (bisa) dianggap hijau. Ini yang sedang kami kaji.”
Sedangkan industri sawit mengusulkan peninjauan kriteria sawit hijau dan kuning. Dalam Taksonomi Hijau 1.0, setiap perusahaan sawit yang ingin mendapatkan label hijau wajib mengantongi dua sertifikat sekaligus, yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bersifat wajib dan Roundtable on Sustainability Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela untuk meningkatkan daya jual ke pasar global. Jika hanya mengantongi ISPO, mereka masih masuk zona kuning. Pelaku industri sawit mengusulkan sertifikat ISPO sudah cukup mengantarkan mereka masuk kategori hijau.
Ini yang kemudian ditolak para pegiat lingkungan. Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho menyebut sejumlah usul dan rencana dalam revisi Taksonomi Hijau 1.0 sebagai langkah mundur. Menurut dia, masalah yang paling mencolok adalah rencana memberikan label hijau pada PLTU batu bara khusus atau captive power, meskipun listriknya digunakan untuk industri “hijau”. “Kita sedang bicara transisi energi, tiba-tiba OJK memberikan label hijau dan mendukung batu bara lagi,” ucapnya pada Jumat, 15 September lalu. “OJK jadi aktor paling penting ketika berbicara soal sektor pembiayaan. Kalau OJK tidak menunjukkan komitmen transisi energi, bubar jalan sudah,” dia menambahkan.
Direktur Climate Policy Initiative Tiza Mafira senada. Dia mengungkapkan, tidak logis jika usaha di sektor hilir seperti pabrik baterai atau kendaraan listrik dapat meng-offset atau menjadi semacam pengganti emisi karbon yang dihasilkan PLTU dan pertambangan batu bara. Menurut dia, jika ada skema offset, seharusnya dihitung dulu emisi karbon yang dihasilkan di sisi hulu dan hilir. “Tapi itu kan skema offset karbon, bukan taksonomi,” kata Tiza.
Juru kampanye pembiayaan batu bara Market Forces, Binbin Mariana, menilai usul memasukkan batu bara dengan kriteria tertentu ke label hijau sangat berbahaya. Dia menerangkan, ketika batu bara masuk kategori merah pun bank lokal masih membiayai proyek PLTU. Salah satu contohnya adalah pembiayaan sindikasi perbankan untuk PLTU captive power di smelter aluminium grup Adaro Energy di Kalimantan Utara. “Jadi buat apa diberi label hijau lagi? Tidak berpengaruh buat bank lokal,” tuturnya pada Kamis, 14 September lalu.
Selama ini, Binbin menambahkan, Taksonomi Hijau dijadikan panduan oleh investor seperti pemegang surat utang dan pemegang saham. Investor yang memiliki kesadaran lingkungan, dia melanjutkan, hanya ingin mendanai bisnis yang berorientasi sama melalui skema pembiayaan hijau. “Tapi kalau ada PLTU batu bara atau sawit dikategorikan hijau, itu menipu investor. Jika ini terjadi, negara ikut meng-endorse penipuan kepada investor,” ujarnya.
Menurut Binbin, bank sebetulnya tidak melanggar apa pun ketika mengucurkan kredit bagi proyek atau bisnis yang masuk kategori merah. “Ini soal reputasi,” ucapnya. Namun, Binbin mengimbuhkan, bank sangat peduli terhadap reputasi hijau yang akan berpengaruh pada citra di mata publik dan investor. “Tapi, bukannya memperbaiki reputasi, bank malah ingin Taksonomi Hijau yang dirombak,” katanya.
Menanggapi soal ini, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK Henry Rialdi mengatakan semua usulan dan masukan sedang dikaji. “Kami ingin menyelaraskan Taksonomi Hijau dengan program transisi energi pemerintah dan interoperabilitasnya dengan Taksonomi ASEAN,” tuturnya pada Kamis, 14 September lalu. OJK akan mempublikasikan Taksonomi Hijau versi baru pada Oktober atau November mendatang untuk mendapatkan komentar dan masukan publik.
Di tengah hiruk-pikuk ini, OJK tak hanya merombak isi dan kriteria bisnis hijau dalam Taksonomi Hijau. Nama pedoman itu pun akan diganti: Taksonomi Berkelanjutan.
Sumber: Majalah Tempo