a47c9907-42e6-4398-9fd8-eaa637212874 (1)

Proses Revisi UU Migas kembali menjadi sorotan publik, karena RUU ini masuk dalam Prolegnas di 2016. Salah satu isu yang mengemuka mengenai revisi UU Migas ini adalah soal aspek kelembagaan migas, khususnya tentang usulan pembentukkan BUMN baru.

Emanuel Bria, Asia Pacific Senior Officer at Natural Resource Governance Institute, dalam diskusi Kelembagaan Migas yang diselenggarakan oleh koalisi masyarakat sipil PWYP Indonesia, memberikan gambaran tentang praktek kelembagaan migas di tingkat global. Bria menjelaskan tentang model kelembagaan migas yang ada saat ini. Secara sederhana, lanjut dia, ada empat model kelembagaan dalam pengelolaan migas. Pertama, monopoli, seperti yang terjadi di Arab Saudi (Aramco) dan Meksiko. Kedua, guaranteed role/option, dimana negara memberi otoritas kepada BUMN, seperti yang terjadi di Malaysia dan Angola. Sedangkan model ketiga yaitu model application with favor, dimana BUMN diberikan penawaran pertama saat lelang blok. “Hal ini seperti terjadi di Meksiko (saat ini) dan Kazhakstan. Model keempat, full competition, dimana BUMN berkompetisi bersama perusahaan swasta lainnya, seperti yang diterapkan di Norwegia dan Kolumbia,” kata Bria akhir Maret lalu.

Kondisi Pertamina di Indonesia, menurut Bria, saat ini lebih cenderung pada model ketiga dan keempat. Pertanyaan kemudian adalah privilege seperti apa yang akan diberikan pada Pertamina dalam eksplorasi dan eksploitasi? Misalnya, dengan memberikan penawaran pertama pada Pertamina, sebelum memberi penawaran kepada (International Oil Company) IOC lainnya. “Ini menjadi penting karena akan berpengaruh terhadap model kelembagaan migas yang akan diakomodir dalam UU Migas yang baru,” jelas Dia.

Secara umum, kelembagaan migas mempunyai empat fungsi, yaitu: fungsi kebijakan, fungsi pengembangan nasional, fungsi operasi kegiatan/komersil, dan fungsi pengawasan. Bria kembali mengajukan pertanyaan kunci, lembaga apa yang bisa berperan sebagai regulator?

“Ambil contoh Norwegia, keempat fungsi tersebut dijalankan oleh institusi yang berbeda. Sedangkan kalau di Malaysia, Petronas menjalankan keempat fungsi tersebut dalam satu institusi.” papar Bria.

Bria menambahkan, model terbaru adalah model hybrid yang diterapkan oleh Petrobras di Brazil. Fungsi monitoring dan evaluasi dijalankan oleh lembaga yang berbeda, sedangkan operator dimonopoli oleh perusahaan negara dan konsorsium. Lembaga yang melakukan monitoring dan evaluasi tersebut lah yang memastikan kepentingan negara diakomodir perusahaan.

Terkait aspek kelembagaan ini, aspek kompetisi politik dan kapasitas kelembagaan juga menjadi faktor yang berpengaruh. Indonesia, cenderung mirip dengan Brazil dan Meksiko dengan kapasitas institusi di level menengah, dengan tingkat kompetisi politik yang cukup tinggi.

Terkait kelembagaan ini, Dessy Eko Prayitno, mantan Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menanggapi, “Perlu adanya demarkasi fungsi antara pemerintah, BUMN, dan Badan Pengawas. Model apapun nanti yang akan dipilih, yang penting kapasitas institusi perlu ditingkatkan.” ujarnya. Eko menambahkan, nilai yang perlu dipenuhi adalah tata kelola yang baik, transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi good corporate governance.

BUMN Khusus untuk Hilir
Seno Margo Utomo, Tenaga Ahli Komisi VII, menyampaikan, bisnis di sektor hilir migas juga harus menjadi perhatian tersendiri, karena juga sedang ramai dibahas ”Jadi nanti perlu ada dua BUMN, Pertamina fokus di hulu dan BUMN baru fokus di hilir,”Ujar Seno. Ia menambahkan, jika hilir dikelola oleh Pertamina, BUMN ini akan cenderung lebih memilih bisnis dengan risiko kecil namun untung banyak (sektor hilir), sehingga sektor hulu menjadi terabaikan.

Di satu sisi, RUU ini perlu perlu mendorong Pertamina sebagai tulang punggung migas. “Kita perlu belajar dari Petronas yang berusaha menjamin cadangan energi negaranya.“ ujar Yusak Farchan, Tenaga Ahli DPR Fraksi Gerindra. Namun, lanjut Yusak, jangan lupa untuk tetap mengawasi Pertamina. Pertamina sebelumnya pernah mempunyai kewenangan yang sangat powerful yaitu era sebelum UU Migas no. 10/2001. Sehingga perlu Badan Pengawas untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Ada dua usulan terkait Badan Pengawas ini. Pertama, menyimpan Badan Pengawas dalam Badan Pengelola, sehingga adanya efisiensi kelembagaan. Kedua, Badan Pengawas berada di luar Badan Pengelola yang independen sehingga bisa bertanggung jawab secara langsung pada presiden.

Abi S Nugroho, dari Lakpesdam NU, memberikan usulan untuk melibatkan masyarakat sekitar tambang untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan. “Perlu juga untuk menambah kuantitas inspektur tambang agar pengawasan menjadi lebih optimal,” tukas Abi. [Asr]