TEMPO.CO, Jakarta – Publish What You Pay Indonesia mendesak pemerintah segera menindak perusahaan pertambangan yang tidak mau menyetor dana jaminan reklamasi dan pemulihan tambang. PWYP mencatat, per Januari 2018, sekitar 5.000 pemegang izin usaha pertambangan tidak kunjung menyetor dana pascatambang.

“Perusahaan yang secara prosedur menyalahi regulasi dan standar kegiatan pertambangan masih saja dibiarkan leluasa menjalankan kegiatan operasinya. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi,” tutur Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia Aryanto Nugroho, di Jakarta, kemarin.

Setoran pemulihan tambang adalah kewajiban yang termuat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Regulasi mengamanatkan dana tersebut harus disetor pemegang izin tambang berstatus eksplorasi dan operasi produksi sejak konsesi diberikan pemerintah.

Absennya pemerintah menagih dana jaminan membuat penambang tidak merestorasi wilayah yang dikeruknya. Aryanto mencontohkan, di Samarinda, Kalimantan Timur, ada 232 lubang tambang di wilayah 32 pemegang izin. Sejak 2012, 28 nyawa anak melayang karena lubang tersebut.

Kementerian Energi sebenarnya sudah memberikan sanksi berupa penghentian operasi sementara bagi penambang bandel ini melalui surat edaran nomor 1187/30/DJB/2017 pada Juni tahun lalu. Namun, menurut anggota Badan Pengarah PWYP Indonesia, Carolus Tuah, surat itu tidak efektif karena hanya menambah 2 persen setoran pascatambang.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Djohansyah, sebelumnya menyesalkan pemerintah yang tetap memberikan status clean and clear kepada penunggak setoran pascatambang. Status ini berfungsi supaya pemegang izin bisa melanjutkan operasi dan mendapat izin ekspor bahan tambang ke luar negeri.

Merah juga melaporkan sekitar 95 persen izin tambang di Kalimantan Barat masih tumpang tindih di kawasan hutan. Perusahaan juga tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Padahal syarat ini adalah yang utama supaya penambang mengantongi status bebas masalah.

Menurut dia, permasalahan terjadi lantaran tim Koordinasi dan Supervisi Mineral Batubara hanya fokus mengurus izin yang menunggak kewajiban keuangan, seperti royalti, iuran tetap, dan penjualan hasil tambang. Padahal penambangan yang tidak mematuhi aturan lingkungan justru lebih merugikan masyarakat sekitar.

Merah mencontohkan, sampai saat ini pengawasan dokumen lingkungan, seperti analisis mengenai dampak lingkungan, masih lemah. Menurut dia, banyak perusahaan yang membuat dokumen amdal bodong. Mulai praktik salin tempel dokumen, hingga merekayasa partisipasi masyarakat. Lantaran amdal yang bermasalah, Jatam mencatat ada 39 konflik masyarakat dengan perusahaan tambang. “Ada juga rujukan dan rekomendasi yang sudah kedaluwarsa,” kata Merah.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono mengatakan kewenangan mencabut izin ada pada pemerintah daerah. Sebagai langkah intervensi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hanya merekomendasikan pembekuan izin kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Daftarnya sudah diserahkan,” tutur Bambang, beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal ini, Merah menganggap Kementerian Energi “melempar kewenangan”. Menurut dia, Peraturan Menteri Energi Nomor 43 Tahun 2016 memperbolehkan pemerintah pusat mencabut izin perusahaan pertambangan bermasalah yang diterbitkan pemerintah daerah.

Sumber: Tempo.co