May 15, 2013 @ 6:57 am
Jakarta, EnergiToday — Sebuah hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Gideon Ikhwan Sofwan menunjukkan perbedaan antara penerimaan negara dari sector mineral dan batubara dengan laporan perusahaan pertambangan tentang kewajiban yang seharusnya dibayarkan.
Perbedaan itu mencakup penerimaan pada Pajak Penghasilan Badan, Pajak Bumi dan Bangunan, royalti, serta iuran tetap.
“Terdapat perbedaan yang signifikan antara laporan perusahaan minerba dengan laporan pemerintah. Perbedaan terbesar merupakan royalti batu bara,” kata Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah, di Jakarta, dikutip Selasa (14/5/2013).
Perbedaan terbesar, kata dia, pada royalty batu bara yang mencapai US$ 54 juta. Versi pemerintah sebesar US$1.207 miliar sedangkan menurut perusahaan pertambangan US$ 1.153 miliar.
Untuk PPh Badan komoditas batu bara, terdapat perbedaan sebesar US$ 0.273 miliar. Pemerintah mengaku menerima sebesar US$ 1.294 miliar. Padahal perusahaan mengaku membayar US$ 1.110 miliar.
Untuk PBB komoditas mineral, perbedaannya sebesar US$ 16.234 juta. Pemerintah mengaku menerima US$3.358 juta sementara perusahaan mineral mengaku telah membayarkan US$ 21.123 juta.
Audit dilakukan terhadap 6 perusahaan mineral, 7 perusahaan timah, 2 perusahaan bauksit, 2 perusahaan nikel, dan 54 perusahaan batu bara.
Audit dilakukan sebagai implementasi amanat Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah Yang Diperoleh Dari Industri Ekstraktif. Audit dilakukan terhadap segala eksplorasi yang terjadi pada 2009. Audit pada 2010 dan 2011 masih berjalan.
Audit itu dilakukan karena Indonesia tergabung dalam Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di mana pemerintah wajib melaporkan penerimaan dari sektor migas sementara perusahaan migas wajib melaporkan pembayaran kewajiban mereka pada negara. (IE)