20–21 September 2021 lalu, telah terselenggara Workshop Monitoring, Evaluating, and Learning (MEL) sebagai program lanjutan proyek akuntabilitas sosial oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dengan para mitranya. Workshop ini lebih mendalami materi dan persiapan menuju tahap akhir proyek akuntabilitas sosial yang dilaksanakan secara offline dan menghadirkan mitra-mitra GPSA (Global Partnership for Social Accountability) di antaranya World Bank, Pokja-30, LePMIL, GeRAK Aceh, Awrago, Polgov, dan pemangku kepentingan lainnya. Selama workshop berlangsung, kegiatan difasilitasi oleh Mohamad Mova Al’Afghani dari TAP Room (World Bank) dan Fahmy Badoh (PWYP Indonesia).

Pertama kalinya pertemuan dilakukan secara tatap muka setelah pandemi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan sejak keberangkatan ke lokasi workshop hingga saat para peserta kembali ke daerah masing-masing. Kegiatan ini diawali dengan perkenalan para peserta workshop dan penyampaian kesan pesan selama proyek ini terselenggara. Workshop MEL yang dilaksanakan secara offline terasa lebih mendekatkan dan mengenal para mitra nasional maupun daerah dalam berdiskusi dan menghasilkan perencanaan program kerja yang lebih baik.

Dalam workshop MEL para peserta merefleksikan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan dari audiensi komunitas, audiensi pemangku kepentingan, forum multipihak, pelatihan, dan diskusi media. Workshop ini turut membahas dampak yang didapat dan target ke depannya selama 8 bulan sejak proyek akuntabilitas sosial dimulai. Solihin (LePMIL) mengatakan setelah diadakannya rangkaian kegiatan akuntabilitas sosial, terlihat naiknya inisiatif para peserta maupun pemangku kepentingan terhadap aktivitas pertambangan yang berdampak
ke masyarakat yang menjadi sasaran program. Kegiatan ini memberi pengetahuan ke masyarakat mengenai cara mengidentifikasi pemanfaatan atau pendapatan dari kegiatan tambang, misalnya dana bagi hasil (DBH).

Fernand (GeRAK Aceh) menyampaikan tantangan selama rangkaian kegiatan proyek akuntabilitas sosial, yaitu adanya keterbatasan dikarenakan oleh kegiatan dilakukan secara online. Mengenai dampaknya, terlihat ada peningkatan optimalisasi penerimaan menjadi rencana tindak lanjut (RTL) di level kabupaten. Di level pejabat pun, pemerintah menyambut dan lebih memahami hak-hak dasar masyarakat terkait aktivitas pertambangan.

Buyung (Pokja-30) menyampaikan pendapatnya di Kalimantan Timur, bahwa terdapat beberapa capaian dari kegiatan yang telah terselenggara. Adanya kesadaran warga dan pemerintah daerah dalam menyuarakan isu pertambangan, misalnya dalam hal observasi awal. Setelah kegiatan ICT (information communication technology) oleh Awrago, masyarakat mulai memahami cara merumuskan masalah dan melakukan pergerakan dengan membuat laporan secara online melalui LAPOR 1708/ESDM 136 sesuai birokrasi yang ada. Dalam pelaksanaannya, terdapat satu laporan yang mendapat respon. Namun, masih ada beberapa laporan yang tak kunjung ditanggapi. Hal inilah yang dapat menjadi pendalaman terkait apa yang menyebabkan pengaduan berhasil dan tidak berhasil. Setelah dilakukan diskusi dengan pemangku kepentingan, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) mulai terbuka untuk memberikan tanggapan mengenai DBH maupun pertambangan ilegal. Sekarang, di Kalimantan Timur, masyarakat sudah mulai berkontribusi dengan membuka pelayanan pengaduan terkait pelayanan publik dan pelaporan kerusakan lingkungan maupun keluhan pihak perempuan di antara masyarakat terdampak. Tantangan tetap ada, masyarakat berharap adanya perubahan dan solusi secara cepat, maka dari itu demonstrasi terkait pertambangan tetap tidak bisa dihindari.

Capaian lainnya mengenai anggaran yang akuntabel, masyarakat mulai sadar dan memahami terkait keterlibatan mereka dalam aktivitas pembangunan dan pertambangan. Sosialisasi pertambangan yang sebelumnya memiliki tantangan keterbatasan minat masyarakat, kali ini masyarakat turut aktif mensosialisasikan hak-hak kepada masyarakat lainnya yang belum terpapar. Kegiatan forum multipihak yang inklusif terbukti dapat memperkuat keragaman rekomendasi para pihak yang berkepentingan dari berbagai sudut pandang yang saling memahami dan menguntungkan.

Para mitra nasional dan daerah proyek akuntabilitas sosial kolaboratif sektor mineral dan batubara GPSA, melalui workshop, menghasilkan penyamaan langkah yang beriringan untuk menetapkan agenda yang perlu dilakukan di tingkat nasional maupun daerah ke depannya. Kesepakatan dicapai atas agenda pada bulan November dan Desember mendatang untuk merealisasikan perbaikan governance di sektor pertambangan yang akuntabel dan transparan.