doc. PWYP Indonesia
doc. PWYP Indonesia

Makin banyaknya industri ekstraktif di suatu wilayah, seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Namun, hal ini tidak sesuai dengan yang dirasakan oleh warga Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

“Di tahun 2012 di Kabupaten Sanggau terdapat 65 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas 242,342.25 Ha, yang terdiri dari 45 izin eksplorasi dan 20 izin eksplorasi.” Ujar Hermawasyah Direktur Eksekutif Swandiri Institute. Dengan banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi harusnya dapat mendatangkan penerimaan bagi desa-desa yang menjadi wilayah terdampak, seperti Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Corporate Social Responsibility (CSR).

Faktanya desa-desa yang terdampak di Kabupaten Sanggau masih minim dalam pemenuhan layanan dasar dan layanan energi. “Perusahaan tambang kurang mempunyai niatan baik saat diminta warga untuk merealisasikan program CSRnya.” Ujar Pius Tomi, Kepala Desa Sejotang. Tomi menambahkan, pihaknya juga tidak tahu seberapa besar Dana Bagi Hasil yang diterima desa dari hasil pertambangan.

Sedangkan, Pascaberlakunya kewajiban membangun smelter, perusahaan tersebut berhenti beroperasi dan menyisakan kerusakan lingkungan. “Sampai saat ini yang kami dapat hanya kerusakan lingkungan seperti halnya Danau Semenduk dan Danau Bekat yang tercemar.” Pius Tomi menambahkan, belajar dari pengalaman ini, penting bagi masyarakat sekitar wilayah tambang untuk mengetahui penerimaan daerahnya dari sektor ekstraktif melalui mekanisme DBH, dan juga mendorong perusahaan merealisasikan CSR.

Difasilitasi oleh Swandiri Institute, warga Sanggau menyelenggaranan diskusi kelompok terfokus bertajuk “Transparansi dan Pengawasan Publik dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan dan Pendapatan Negara di Sektor Ekstraktif”, yang berlangsung di Kabupaten Sanggau (27/5). Hadir dalam diskusi ini perwakilan dari Bapeda Kabupaten Sanggau, Dispenda Kabupaten Sanggau, warga dari Desa Sejotang, Desa Subah dan perwakilan dari koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

“Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 210/PMK. 07/2012, penerimaan dan pendapatan DBH Kab. Sanggau dari sektor land rent sebesar Rp. 1,648,561,066. Seharusnya pemda Sanggau mendapatkan DBH dari land rent sebesar Rp. 3,776,056, 584. Ada selisih sebesar Rp. 2,127,495,518. Selisih ini dikenal sebagai potential lost, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya perusahaan yang tidak membayar kewajibannya atau kurang bayar,” kata Hermawansyah

Meliana Lumbantoruan, Manager Research PWYP Indonesia menjelaskan bahwa warga bisa mengetahui seberapa besar DBH Kabupaten Sanggau dan menanyakan berapa besar yang diterima desanya. Hal ini didasari oleh UU Keterbukaan Informasi Publik, dimana data DBH ini merupakan data publik. Meliana juga menjelaskan inisiatif EITI (Extractive Industry Transparency Initiative), yang mendorong pemerintah membuka data konsesi perusahaan, serta mendorong perusahaan-perusahaan melaporkan hasil produksinya.

Sederhananya, warga bisa menghitung seberapa besar penerimaan untuk daerahnya. Dengan hitungan land rent 2$ per hektar untuk izin eksplorasi, serta 4$ per hektar untuk eksploitasi. Serta penerimaan dari royalty dengan  hitungan (volume x tariff komoditas x harga jual). Serta berkaitan dengan CSR, warga perlu lebih teliti lagi dalam memilah mana CSR dan mana program yang sebetulnya mengakomodir kepentingan perusahaan saja.

Pekerjaan rumah selanjutnya bagi warga sekitar tambang adalah memastikan anggaran dari sektor ekstraktif dialokasikan untuk prioritas penanggulangan kemiskinan sehingga bertahap kehidupan masyarakat berubah menjadi lebih baik.