VIVA.co.id – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya akan mempelajari tuntutan yang dilayangkan sejumlah koalisi masyarakat sipil. Koalisi itu menggugat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara beserta turunannya.
Di antara aturan turunannya, yaitu Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Selain itu juga Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
“Kami akan pelajari, yang jelas ada satu PP dan dua permen. Kemudian ada dua permen lagi akan kami keluarkan sebagai turunan dari PP 1. Secepatnya ya akan kami keluarkan. Apapun yang kami keluarkan sudah berdasarkan review yang sangat dalam,” kata Arcandra, di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017 malam.
Arcandra menyarankan penggugat bisa menggunakan jalur hukum sesuai ketentuan di negara demokrasi ini. Ia mengatakan pihaknya pun siap menghadapi hal tersebut. “Kami dalam hal ini pemerintah juga siap untuk menjelaskan maksud PP dan permen yang diterbitkan,” katanya.
Arcandra yakin, aturan yang dikeluarkan oleh pihaknya sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Tanah Air. “Saya rasa di PP dan permen itu yang pemerintah keluarkan sudah sesuai, artinya siapapun harus tunduk tanpa pengecualian,” ujarnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan beberapa koalisi lainnya mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat.
Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah menyatakan, pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat Undang-Undang (UU) Minerba Tahun 2009 pada pasal 102 dan 103. Dalam undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
“Sekaligus bertentangan dengan pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK (Kontrak Kerja) yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009.” kata Maryati di Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017.