Jakarta, 5 Juni 2020 – Koalisi PWYP Indonesia mendukung langkah pemerintah untuk tidak memenuhi permintaan pelaku usaha melalui Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) soal permintaan insentif terkait relaksasi pembayaran royalti (iuran produksi), keringanan mekanisme pembayaran royalti dan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation-DMO). Usulan tersebut dinilai melukai rasa keadilan dan kemanusiaan, terutama saat kondisi negara dan daerah yang membutuhkan penerimaan untuk penanganan Covid-19.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyatakan, terdapat sejumlah alasan mengapa usulan APBI itu tidak relevan untuk dipenuhi. Pertama, soal usulan relaksasi pembayaran royalti (hingga enam bulan ke depan) dengan menggunakan basis penentuan harga pasar bukan harga patokan batubara (HPB/HBA) sebagaimana ketentuan yang berlaku sekarang. Menurut dia, permohonan itu tentu akan berdampak langsung pada penerimaan negara, khususnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak) non-migas yang akan semakin terpuruk, sementara negara sedang butuh menaikkan kapasitas fiskal untuk penanganan pandemi covid dan recoverynya.

Penurunan royalti juga akan sangat berdampak pada Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Minerba yang ditransfer ke daerah, mengingat 80% dari PNBP royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik level provinsi hingga kabupaten. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerahnya dari DBH batubara. Sementara di sisi lain, Kementerian Keuangan melakukan relaksasi DBH untuk refocusing penanganan Covid-19.

Maryati juga sependapat dengan Direktur PNBP Minerba (sebagaimana disampaikan dalam diskusi media ini) bahwa perhitungan royalti yang didasarkan pada HPB merupakan langkah untuk mencegah praktik transfer pricing melalui transaksi penjualan kepada perusahaan afiliasi (bahkan ada yang ditengarai melalui perusahaan cangkang).

“Dalam kondisi saat ini, dengan harga yang turun dan permintaan yg juga turun, semestinya penurunan harga (menggunakan harga pasar) tidak dilakukan mengingat kebutuhan tersebut, hal ini dalam konteks kontribusi pada kepentingan negara dan masyarakat luas, bukan sekedar kepentingan pebisnis,” tegas Maryati.

Kedua, soal usulan agar pembayaran royalti dilakukan setelah pengapalan/transaksi penjualan, bukan dengan melakukan semacam deposit di awal. Maryati menjelaskan, hal ini bertentangan dengan prinsip filosofis dan hukum royalti yang dikenakan atas berpindahnya kepemilikan/penguasaan sebuah sumberdaya (komoditas tambang) dari tangan negara ke pihak swasta (dalam hal ini pelaku usaha yang mendapat izin/kontrak). Jika komoditas SDA dijual terlebih dahulu baru kemudian dilaporkan, itu bertentangan dengan hak konstitusional penguasaan negara: dimana sebuah komoditas baru dapat berpindah tangan, jika pembayaran royalti telah dilakukan. Pembayaran royalti di depan lebih memberikan kepastian hukum, kepastian cash flow, dan konstitusional.

“Pembayaran yang dilakukan setelah pengapalan akan rawan terhadap praktik transfer pricing, terlebih jika harga dilepas kepada corporate atau harga pasar. Transfer pricing bukan hanya berdampak pada PNBP melainkan juga berdampak pada penerimaan pajak dari industri batu bara,” tegasnya.

Maryati juga menekankan bahwa illicit financial flows (IFF) akibat miss-invoicing trade (salah satunya melalui transfer pricing) masih besar di Indonesia, bahkan kita masuk dalam 10 besar dengan IFF tertinggi di dunia menurut Global Financial Integrity (GFI, 2015).

Ketiga, mengenai usulan yang meminta DMO diturunkan dari yang semula 25% diusulkan turun hingga 18%, termasuk sanksi bagi yang tidak menjalankan DMO diminta untuk ditangguhkan. Maryati menyatakan, hal ini menunjukkan pebisnis batu bara tidak peka dengan kebutuhan nasional, terutama kebutuhan pasar dalam negeri yang berkaitan juga dengan pemulihan ekonomi. Selain itu, usulan itu tidak sejalan dengan prioritas presiden Jokowi dalam mendorong transformasi ekonomi dengan melakukan hilirisasi bahan mentah di dalam negeri.

“Sanksi berupa pemotongan kuota produksi sudah tepat, karena ini menyangkut juga tanggung jawab perusahaan yang harus diperankan terhadap perekonomian nasional, sekaligus merupakan bentuk pengendalian produksi batubara” tutup Maryati.

Dalam Media Briefing yang dilaksanakan secara, Jumat 5 Juni 2020, terdapat pembicara lain, yaitu Johnson Pakpahan, Direktur Penerimaan Bukan Pajak- Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM dan Enny Sri Hartati, peneliti senior INDEF. Berikut kutipan dua narasumber tersebut:

Johnson Pakpahan, Direktur PNBP Ditjen Minerba

Menurut Johnson, relaksasi royalti tidak urgen untuk dilakukan, karena setelah Covid-19 harga komoditas batu bara diprediksi akan segera naik kembali. Johnson mengatakan, perkiraan capaian PNBP minerba tahun ini akan terkoreksi di angka Rp35,9 triliun hingga akhir tahun. Berdasarkan data Ditjen Minerba per-5 Juni 2020, realisasi PNBP saat ini mencapai Rp.14,55 triliun atau sebesar 40,50 persen dari revisi target Rp35,93 triliun.
Sebelumnya pemerintah menargetkan PNBP sektor minerba tahun ini bisa mencapai Rp.44,40 triliun dengan asumsi produksi untuk target PNBP tahun ini sebesar 550 juta ton dan Harga Batubara Acuan (HBA) US$90 per-ton dengan kurs Rp 14.400 sesuai kesepakatan Badan Anggaran DPR RI.
“Penundaan pembayaraan akan mengganggu cash flow pemerintah. Kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, seharusnya pemerintah juga sebaiknya dibayar di muka,” kata Johnson.

Enny Sri Hartati, Peneliti Senior INDEF

Persoalan pertambangan kita ketahui sangat detail dan teknis, sehingga seringkali sulit ditangkap banyak pihak maupun media. Apabila, diterapkan harga aktual (harga korporasi) yang diminta pengusaha minerba, berpotensi sekali terjadinya moral hazard. Enny menilai usulan tersebut tidak rasional dan tidak memiliki justifikasi yang kuat.

Dengan menggunakan index (HPB) saat ini saja sudah menguntungkan sekali bagi pengusaha batu bara. HPB bahkan sering ditinjau setiap bulan, jika pengusaha ingin melepaskan pada harga pasar ini namanya suka-suka sesuai dengan harga corporate. Jika hal ini sampai lolos tanpa kontrol, bagaimana dengan harga komoditas di petani, mereka juga diatur oleh negara tidak suka-suka. “Batu bara bukan komoditas biasa. Batu bara adalah komoditas yang non-renewable. Maka seharusnya benar-benar didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945. Bagaimana mungkin kedaulatan atas SDA tersebut disetir oleh swasta. Ini tidak hanya melukai masyarakat, namun juga melanggar konstitusi,” tegas Enny.

Margin profit pengusaha pertambangan menurut INDEF sebesar 20%, namun royalti hanya 6% dari 13,5% dimana sisanya adalah untuk dana pengembangan batubara. “Royalti bukan hanya sekedar bagi-hasil, namun juga memperhitungkan, sosial dan biaya lingkungan.” kata Enny.

Untuk mendapatkan detail rekaman audiovisual dan bahan-bahan narasumber silakan diakses melalui link berikut: https://tap.my.id/pwypindonesia

Narahubung: +62 857-1142-3600 (Ayubi)