Sektor Sumber Daya Alam (SDA) merupakan sektor yang rawan terjadi benturan kepentingan (Conflict of Interest) dan praktik monopoli. Pengungkapan informasi mengenai penerima manfaat sesungguhnya atau dikenal dengan istilah Beneficial Ownership (BO) dapat digunakan sebagai tools untuk memetakan kepemilikan korporasi sekaligus menemukan indikasi potensi terjadi conflict of interest dan praktik monopoli di sektor tersebut. Topik ini menjadi pembahasan dalam Pelatihan untuk Memahami BO  serta Melakukan Pemetaan Kepemilikan Korporasi di Sektor SDA yang diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia atas dukungan The Asia Foundation, 21/2 lalu.

Syahrul Fitra, peneliti hukum Yayasan Auriga, narasumber dalam salah satu sesi pelatihan tersebut, menyampaikan hasil kajiannya terkait pemetaan BO di sektor sawit. Kajian yang dilakukan bersama dengan Koalisi Anti Mafia Hutan, tersebut menilai hubungan antara perusahaan pemasok Asia Pulp and Paper (APP) yang diklaim sebagai mitra “independen”, termasuk dua perusahaan di Sumatera yang mengalami kebakaran parah pada tahun 2015, dengan manajemen APP dan/atau Grup Sinar Mas, perusahaan induk APP. Temuan kajian mengindikasikan 24 dari 27 perusahaan pemasok ‘independen’ APP berhubungan dengan Grup Sinar Mas. Kepemilikan saham mayoritas dan minoritas 24 perusahaan pemasok mengalir melalui 22 perusahaan induk ke delapan individu, yang tujuh di antaranya merupakan pegawai atau eks-pegawai entitas yang dikontrol oleh Grup Sinar Mas.

Syahrul juga membagikan pengalamaannya terkait tantangan dalam melakukan pemetaan BO di perusahaan tersebut. “Seringkali perusahaan menggunakan ‘nominee’ sebagai direktur atau pemegang saham. Awalnya kami memetakan siapa pemegang saham dan direkturnya, kemudian cross check data dengan berbagai informasi yang kami dapat social media dan data di bursa efek. Salah satu temuan dari kajian tersebut adalah adanya indikasi  rangkap jabatan dan kepemilikan saham silang,” ujar Syahrul.

“Temuan lainnya, kami menduga ada indikasi persaingan usaha tidak sehat di sektor sawit dan sudah kami sampaikan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk ditindaklanjuti lebih jauh. Selain itu, pola kepemilikan korporasi seperti ini rentan terjadinya penghindaran pajak karena sangat mudah untuk melakukan transfer pricing dan mis-invoicing trade,” jelas Syahrul.

Menurut Syahrul, beberapa tahapan yang dilakukan dalam pemetaan BO melalui,  pertama, proses pengumpulan data. Tahapan ini cukup menantang bagi masyarakat sipil, mengingat masyarakat sipil bukanlah lembaga yang mempunyai otoritas dalam mengakses data Beneficial Ownership.Kedua, profiling, dengan melakukan analisis data perorangan menggunakan berbagai aplikasi yang bersumber dari open source. Salah satu success story dari proses ini, ternyata bermanfaat untuk penegakan hukum kasus illegal logging di Papua. Profiling data aktor dan perusahaan dapat menunjukkan bagaimana relasi antar perusahaan, sehingga bisa menemukan perusahaan mana yang harus bertanggung jawab atas illegal logging dan kerusakan hutan.

Pola ini sebenarnya dapat juga digunakan dalam konteks memetakan aktor penyumbang dana kampanye dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Namun, keterbatasan informasi yang didapat dari laporan sumbangan kampanye yang dipublikasikan, agaknya sulit untuk dianalisa lebih lanjut. “Nama-nama yang dicantumkan sebagai penyumbang adalah nama yayasan dan anonim (hamba Allah). Padahal dalam mengidentifikasi BO, perlu diketahui nama perorangan,” ujar Syahrul.

Sulistio, Tenaga Ahli Bidang Hukum Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyampaikan bahwa dalam pemilu 2019, beberapa strategi sudah dilakukan untuk mengurangi biaya politik yang terlalu tinggi. Salah satunya adalah pendanaan kampanye bagi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), seperti pembiayaan iklan di media dan alat peraga, melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Penyumbang dana kampanye juga wajib mencantumkan identitas, nomor rekening atau NPWP beserta besaran sumbangan. Sumbangan dana kampanye dari korporasi memiliki batasan maksimum, sedangkan sumbangan dari pasangan calon sendiri tidak terbatas,” jelas Sulistio.

Beberapa temuan Bawaslu,  menunjukkan adanya indikasi sumbangan kampanye yang tidak dilaporkan, atau laporan sumbangan yang underpayment. Sulistio juga menyampaikan bahwa untuk menjembatani problem ketiadaan akses langsung ke perbankan, saat ini, Bawaslu melakukan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Mohammad Reza, Staff Ahli Bidang Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan terkait Undang-Undang Nomor 55 tahun 1999 tentang Laporan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan UU ini, jika masyarakat mengetahui terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, masyarakat bisa melapor secara tertulis ke KPPU.

“Setiap orang yang menjadi pelapor, perlu memberikan keterangan yang jelas mengenai pelanggaran dengan menyertakan identitas pelapor. Sebagai pelapor, orang tersebut identitasnya dirahasiakan, serta tidak berhak mendapat ganti rugi,” ujar Reza.

Berbeda dengan pelapor, pihak yang dirugikan akibat pelanggaran terhadap UU No 55/1999 ini juga bisa melapor dengan memberi keterangan yang jelas, dan menyebutkan jumlah kerugian yang dialami. Untuk pihak yang dirugikan, pelapor berhak menuntut dan mendapat ganti rugi, namun identitasnya tidak dirahasiakan.“Nah, masyarakat sipil atau masyarakat pada umumnya bisa memanfaatkan regulasi ini jika menemukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lapangan,” pungkas Reza.