SIARAN PERS
Peristiwa tumpahan minyak di teluk Balikpapan yang terjadi pada (31/3) Sabtu kemarin merupakan persoalan serius yang memerlukan penanggulangan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dengan baik. Pasalnya, tumpahan minyak tersebut ditengarai menyulut kebakaran kapal speed MV. Ever Judger berbendera Panama dengan muatan batubara. Meski seluruh awak yang berkewarganegaan Tiongkok ini dapat diselamatkan, namun terdapat 5 korban jiwa yang merupakan nelayan dan masyarakat yang sedang berada di sekitar perairan dan kapal yang terbakar tersebut. Sejak kejadian tersebut, ratusan nelayan yang mencari ikan di sekitar teluk juga ditengarai menghentikan aktivitasnya.
Berdasarkan keterangan dari press conference yang dilakukan oleh General Manager PT Pertamina Refinery Unit V dan Direktur Reskrimsus dan Kabid Humas Polda Kaltim, pada Rabu 4 April 2018, dinyatakan bahwa tumpahan minyak tersebut merupakan minyak mentah yang bersumber dari pipa milik Pertamina di bawah laut dari arah Lawe Lawe menuju/dari kilang minyak di Balikpapan, yang terseret dan putus sehingga menyebabkan tumpahan minyak ke perairan laut. Pihak Pertamina pun mengoreksi pernyataan sebelumnya yang sempat mengatakan tumpahan tersebut merupakan bahan bakar kapal (Marine Fuel Oil–MFO). Ditengarai pipa bawah laut tersebut telah berusia 20 tahun.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyatakan, agar pihak berwenang menelusuri lebih lanjut penyebab dari tumpahan minyak tersebut. Karena peristiwa ini termasuk bentuk kecelakaan tingkat fatal di sektor migas. Apakah terdapat aspek kelalain yang dilakukan perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan standar keselamatan dan keamanan operasi pengangkutan minyak melalui pipa. Apa penyebab pasti lepasnya dan terseretnya pipa yang mengakibatkan tumpahnya minyak tersebut. Prosedur pemeliharaan dan pengecekan pipa secara berkala semestinya telah menjadi standar prosedur operasi, serta upaya perbaikan jika ditemukan adanya tanda-tanda kerusakan merupakan bentuk pencegahan resiko yang semestinya dilakukan.
Selain itu, diperlukan juga penyelidikan lebih lanjut apa penyebab kebakaran pengangkut batubara yang menelan korban jiwa tersebut. Apakah kapal tersebut juga telah dilengkapi peralatan standar yang memungkinkan penanggulangan tumpahan minyak di perairan sebelum melakukan pelayaran, termasuk standar mengatasi kebakaran, sehingga kebakaran tidak meluas dan menelan korban nelayan dan warga yang sedang berlayar di sekitar kapal. Standar laik operasi dan berlayar dari kapal penarik tongkang batubara ini harus diselidiki lebih lanjut.
Koordinator Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah, lebih lanjut mengatakan “Selain mendukung upaya investigasi lebih lanjut, kami juga mendukung upaya cepat tanggap yang telah dan tengah dilakukan oleh instansi terkait seperti KSOP yang bekerjasama dengan instansi penanggulangan di daerah, termasuk Pertamina dan Tim Satgas yang diterjunkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup ke lokasi. Setelah upaya tanggap darurat dilakukan secara cepat, seperti penggunaan oil boom, oil skimmer, maupun penggunaan dispersant dan absorbent untuk melokalisir, menghisap maupun menyerap tumpahan minyak, selanjutnya upaya penanggulangan dampaknya harus segera dilakukan hingga tuntas.
Hasil penyelidikan pun perlu disampaikan terhadap publik, mengingat banyak pihak yang dirugikan akibat peristiwa ini. Selain itu, peristiwa tumpahan minyak ini menjadi momentum untuk mengevaluasi aktivitas di Teluk Balikpapan, sehubungan di jalur tersebut banyak aktivitas pengangkutan migas dan batubara.
Sesuai dengan asas ‘polluter pays principle’ maka yang harus bertangungjawab untuk melakukan penanggulangan, pemulihan, pembiayaan dan ganti rugi adalah pihak yang karena kegiatannya telah mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di laut, dalam hal ini adalah Pertamina dan pihak-pihak lain hasil penyelidikan nantinya. Tanggungjawab mutlak atas biaya tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Peraturan yang lahir sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam meratifikasi konvensi PBB tentang hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea–UNCLOS) tersebut merupakan mengatur tindakan secara cepat, tepat, dan terkoordinasi dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dan penanggulangan dampak lingkungannya.
Akibat pencemaran dari tumpahan minyak di laut sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup dan ekosistem di sekitar pantai, baik secara langsung (seperti kematian, perubahan fungsi tubuh dan perilaku, dll), maupun secara sistemik berupa gangguan ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut . Secara sosial-ekonomi, dampak secara langsung juga dirasakan oleh berkurangnya perolehan hasil tangkapan nelayan, terganggungnya kegiatan pasokan dan distribusi minyak, maupun terganggunya kegiatan perairan, transportasi, dan kegiatan lainnya di sekitar kejadian tumpahan minyak. Oleh karenanya, Pertamina sebagai pihak yang bertanggung jawab perlu melakukan ganti rugi bagi masyarakat yang dirugikan peristiwa tersebut.
Narahubung:
Asri Nuraeni (asri.nuraeni@pwyp-indonesia.org)
Link terkait: