Industri ekstraktif, khususnya migas, mineral dan batu bara masih menjadi sumber penerimaan negara andalan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terakhir di tahun 2013 mencatat, penerimaan dari sektor migas, mineral dan batu bara yang diperoleh dari pembayaran pajak dan pendapatan non-pajak dari sektor hulu/ekstraktif mencapai 23% dari total APBN-P 2013, atau sebesar Rp 398,4 triliun, dari total Rp 1.726 triliun APBN-P 2013.

Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap produk domestik bruto menurut harga berlaku hanya tercatat sebesar 10,43% dari total PDB nasional dengan migas di tahun 2013 (BPS, 2014). Angka ini sesungguhnya masih menjadi tanda tanya, karena bisnis ekstraktif yang menyokong pendapatan utama orang-orang terkaya di negeri ini teryata hanya memberikan kontribusi sekitar sepersepuluh dari total PDB nasional.

Di sisi lain, hasil koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2014 ini mencatat terdapat potensi kerugian penerimaan negara bernilai triliunan rupiah, akibat kebocoran dalam penerimaan negara.

Salah satu yang disorot publik adalah aspek transparansi dan akuntabilitas. Problem transparansi terutama ditengarai oleh tidak sinkronnya (atau tidak adanya) data dan informasi yang memadai antar-instansi terkait, informasi yang asimetris, tidak terbukanya sebuah proses atau mekanisme, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pada hampir semua rantai proses dari industri pertambangan. Problem itu terjadi sejak proses lelang, penandatanganan kontrak, hingga pasca tambangnya.

Penulis dalam hal ini membatasi pembahasan mengenai transparansi tata kelola pertambangan, khusus pada tiga aspek utama, sebagaimana diuraikan pada bagian tulisan berikut ini.

Transparansi Perizinan Tambang

Mekanisme pemberian kontrak/perizinan, baik melalui lelang maupun pemberian izin sudah semestinya berjalan secara terbuka dan transparan. Bukan hanya persoalan proses yang, kompetitif dan jujur, namun juga menyangkut hak-hak masyarakat yang harus diperhatikan. Terutama jika area/wilayah yang dijadikan konsesi pertambangan tersebut berada di permukiman warga, hak tanah ulayat, atau menyangkut kepentingan masyarakat tempatan yang lebih luas.

Hal esensi lainnya dalam transparansi kontrak/perizinan adalah hak warga atas informasi yang terdapat di dalam kontrak/perizinan tersebut. Bukan hanya informasi mengenai area/batas-batas wilayah perizinan yang tertera di dalam kontrak yang penting bagi warga. Identifikasi kepemilikan serta segala hak dan kewajiban yang tertera di dalam kontrak membantu warga untuk terlibat dalam memantau kegiatan pertambangan agar berjalan sesuai praktik pertambangan yang baik.

Transparansi diperlukan salah satunya agar tidak terjadi tumpang tindih kontrak, pemalsuan kontrak, ataupun pemberian kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kita bisa berkaca dari proses sertifikasi “clean and clear “oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, sejak 2011. Dari total 10.922 total IUP yang tercatat di Dirjen Minerba, hanya 6,042 yang telah dinyatakan CnC. Artinya, hampir 50% dari total IUP tersebut bermasalah.

Penelusuran oleh Publish What You Pay Indonesia di beberapa daerah tambang, dalam hal IUP ini menemukan beberapa persoalan mendasar, yakni :

  1. Pemahaman/kapasitas pemda dalam memberikan izin tidak didasari oleh rencana kebijakan yang memadai. Belum ada perencanaan dan kajian strategis baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan sebagai dasar pemberian izin pertambangan;
  2. Masih terdapat perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah, karena adanya izin-izin yang tidak dilaporkan atau data yang tidak valid;
  3. Dalam proses pemberian izin, kuat diduga terjadi suap, pengelabuhan informasi wilayah izin, dokumen izin yang tidak valid (copy-paste), prosedur yang tidak sesuai, serta cenderung tidak memperhatikan asas-asas competitive and fairness secara ekonomi;
  4. Data dan informasi perizinan sulit diakses oleh publik, meskipun sudah terdapat peraturan mengenai keterbukaan informasi publik (KIP).

Terkait hal ini, penulis merekomendasikan beberapa hal berikut :

  1. Perlu dibuat prosedur standar dalam proses pemberian izin, dengan prasyarat dasar kebijakan yang kuat dan strategis, prosedur jelas dan terbuka, serta memperhatikan hak-hak dan partisipasi masyarakat
  2. Perlu segera dibuat pusat data dan informasi perizinan tambang, yang memungkinkan akses dan penelusuran oleh publik, dengan informasi yang memadai terutama mengenai kepemilikan, status perizinan, area operasi serta komitmen menyangkut hak dan kewajiban pertambangan kepada publik
  3. Mekanisme lelang dan pemberian izin harus lebih terbuka dan transparan, serta adanya kontrol dan partisipasi publik, yang mencegah terjadinya suap, konflik kepentingan, ekonomi biaya tinggi serta korupsi.

Transparansi Tata Ruang dan Penggunaan Lahan

Transparansi dalam tata ruang dan penggunaan lahan merupakan persoalan mendasar yang sering menimbulkan persoalan tumpang tindih izin, kerancuan dalam identifikasi dan monitoring kegiatan pertambangam, serta menimbulkan kesulitan dalam identifikasi kewajiban pajak, yang berakibat pada tidak optimalnya penerimaan negara. Persoalan tersebut juga merupakan salah satu hasil identifikasi KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Pertambangan yang diluncurkan pada Februari 2014 ini.

Inisiatif Open Government Partnership (OGP) di tingkat pemerintah yang dipimpin oleh Unit Kerja Presiden untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) juga telah memulai upaya penyatuan peta tata ruang dalam bentuk satu peta. Salah satu tujuannya adalah untuk menertibkan peta izin sektor pertambangan secara terpadu.

Penelitian Swandiri Institute bersama Publish What You Pay Indonesia di salah satu wilayah pantauan KPK di Kalimantan Barat menemukan, akibat dari tidak dipatuhinya ketentuan i tata ruang, di tahun 2012 terdapat tumpang tindih antara industri pertambangan dengan hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 367.224 ha, tambang dengan HTI (hutan tanaman industri) seluas 442.080 ha, serta tambang dan perkebunan sawit sebesar 1.792.593 ha.

Dari sisi penerimaan negara, hitungan Publish What You Pay Indonesia bersama Swandiri Institute mengemukakan, di tahun 2012 terdapat potensi kehilangan penerimaan negara sebesar RP 59.542.372.770, dari seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat.

Terkait hal ini, penulis merekomendasikan beberapa hal berikut :

  1. Perlu transparansi penggunaan lahan dan hutan untuk memastikan adanya alokasi keadilan tata ruang bagi segenap masyarakat, serta untuk menghindari praktik ‘jual beli’ konsesi tanpa pengawasan dan penegakan hukum
  2. Informasi spasial sebagai informasi publik harus mudah diakses oleh publik, agar masyarakat terlibat aktif dalam memantau dan memonitor penggunaan lahan dan hutan
  3. Inisiatif “One Map” yang dikomandoi oleh UKP4 harus diteruskan oleh pemerintahan periode selanjutnya untuk memberikan kepastian dan penertiban peta-peta izin konsesi, baik di sektor pertambangan, perkebunan maupun kehutanan.

Transparansi Penerimaan Negara

Di sektor hulu, industri ekstraktif pertambangan mineral dan batu bara seharusnya masih mampu memberikan penerimaan yang lebih besar dari kondisi sekarang. Hal ini terbukti dari setelah dilakukannya koordinasi dan supervisi di 12 provinsi penghasil minerba oleh KPK dan Dirjen Minerba-ESDM, terdapat peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Beberapa titik persoalan terkait transparansi penerimaan negara dari sektor pertambangan yang diidentifikasi oleh Publish What You Pay Indonesia antara lain :

  1. Transparansi informasi/data produksi; Hasil uji petik PWYP Indonesia bersama anggotanya di Riau misalnya, menemukan perbedaan data produksi batu bara dari salah satu perusahaan yang beroperasi di Riau, antara data yang dimiliki Pemda Riau yang diperoleh dari perusahaan dengan data yang dimiliki oleh Dirjen Minerba, Kementerian ESDM yang diunggah di situs http://www.minerba.esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/ . Perbedaan data produksi tentunya akan berpengaruh pada seberapa banyak setoran penerimaan negara (royalti, sewa tanah, dan sebagainya) yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan kepada negara;
  2. Mekanime pembayaran pajak dan non-pajak kepada negara. Mekanisme self assesment dan self reporting dalam pembayaran royalti dan pajak di sektor minerba ditengarai menimbulkan celah kebocoran dari pembayaran penerimaan negara, akibat dari selisih kurang atau lebih bayar. Hal ini ditunjukkan di antaranya oleh temuan laporan rekonsiliasi EITI yang dilakukan oleh rekonsiliator independen.

Indonesia telah menjadi negara pelaksana EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) sejak empat tahun lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 256 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah dari Sektor Migas dan Pertambangan.

Namun demikian, masih terdapat ketidaksesuaian data antara laporan perusahaan dengan yang disampaikan oleh pemerintah. Secara umum, perbedaan utama pada laporan pertama disebabkan oleh perbedaan satuan dan basis pelaporan, adanya kendala dalam pembukaan beberapa data perpajakan, hingga persoalan database informasi penerimaan pertambangan di Ditjen Minerba-Kementerian ESDM.

Sedangkan pada laporan kedua yang dikeluarkan Juni 2014 ini, perbedaan data untuk sektor mineral dan batu bara secara umum disebabkan oleh masih adanya kesalahan pembagian antara royalti dan, adanya perbedaan pembagian penjualan hasil tambang (PHT) dan royalti yang ada di laporan perusahaan dan laporan pemerintah, adanya pembayaran Pph yang teridentifikasi sebagai pembayaran royalti, adanya perbedaan nomor akun dalam sistem pembayaran di Ditjen Pajak, dan sebagainya.

Laporan rekonsiliasi EITI Indonesia ini juga mencatat masih lemahnya partisipasi pelaku industri pertambangan dalam mentransparansikan pembayaran setoran penerimaannya kepada negara. Hal itu dibuktikan dengan masih adanya perusahaan-perusahaan yang tidak menyampaikan laporan pembayaran penerimaan negaranya kepada EITI, yakni satu perusahaan untuk laporan tahun fiskal 2010 dan sembilan perusahaan untuk tahun fiskal 2011.

Terhadap hal ini, penulis merekomendasikan beberapa perbaikan sebagai berikut :

  1. Perlu keterpaduan sumber data produksi yang dapat terverifikasi dengan baik. Hal ini juga terkait dengan pengawasan angka produksi, dan termasuk volume penjualan.
  2. Proses verifikasi perhitungan dan pembayaran penerimaan negara perlu diperkuat lagi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan diikuti oleh penegakan hukum yang tegas
  3. Perlu dikembangkan mekanisme pengawasan penerimaan negara secara online, yang memungkinkan akses dan pengawasan oleh publik.

*) Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Anggota Komite Pengarah Open Government Partnership (OGP) di Tingkat Internasional

*) Kolom Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah di Majalah Tambang, Edisi Agustus 2014, Hal 48-49

*) Tulisan versi pdf dapat dilihat di sini

*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis