JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola sumber daya alam yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan harus terus didorong dan dipercepat. Sebab, ketahanan ekonomi dan pembangunan di Indonesia belum bisa lepas sepenuhnya dari sumber daya, seperti minyak dan gas bumi, mineral, serta batubara. Apalagi, masih ada masalah dalam hal tata kelola tersebut.
”Tata kelola migas, tambang mineral, dan batubara harus dikelola sesuai mandat konstitusi, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jangan sampai akibat tata kelola yang keliru, kekayaan alam tidak memberi manfaat sama sekali bagi rakyat,” kata Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, akhir pekan lalu, seusai memberi masukan materi topik debat calon presiden kepada Komisi Pemilihan Umum.
Menurut Maryati, pemerintah tengah gencar menggaet investor terkait pengelolaan sumber daya alam. Segala kemudahan atau insentif diberikan, termasuk dalam perizinan melalui mekanisme satu pintu. Namun, penyederhanaan perizinan kerap melupakan fungsi izin itu sendiri, yaitu sebagai instrumen pengendali terutama yang terkait daya dukung lingkungan.
”Sebagai contoh, kebijakan energi nasional ataupun rencana umum energi nasional mengamanatkan pembatasan produksi batubara dalam negeri. Realitasnya, produksi batubara terus dipacu melampaui rencana pembatasan. Bahkan, pemerintah memberikan insentif tambahan kuota ekspor batubara pada 2018 sebagai kompensasi penetapan harga batubara dalam negeri,” ujar Maryati.
Dalam hal peningkatan nilai tambah mineral, kata Maryati, pemerintah sudah semestinya menegakkan amanat undang-undang. Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan batubara di dalam negeri wajib melaksanakan peningkatan nilai tambah atau yang dikenal sebagai hilirisasi tersebut. Program hilirisasi harus disesuaikan dengan strategi industri dari hulu sampai hilir.
Khusus mengenai ketidaksesuaian produksi batubara dengan rencana pembatasan, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono, hal itu sulit dihindari. Pasalnya, para pemegang IUP batubara di daerah sudah melakukan studi kelayakan dan kegiatan eksplorasi. Ia mengakui pengendalian produksi batubara masih menjadi tantangan tersendiri.
”IUP dari daerah sulit ditahan (untuk berproduksi) karena mereka sudah melakukan studi kelayakan dan eksplorasi,” ujar Bambang.
Bersih tanpa masalah
Mengenai status bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC), saat ini masih ada 539 perusahaan pemegang IUP yang belum mengantongi sertifikat CNC. Pemerintah pusat tidak bisa menindak atau mencabut izin terhadap IUP yang belum berstatus CNC tersebut. Kewenangan menjatuhkan sanksi ada di tangan gubernur selaku penerbit izin.
”Kami hanya memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang belum mengantongi sertifikat CNC,” kata Bambang.
Tata kelola tambang yang juga tengah mendapat sorotan adalah kegiatan pascatambang dan reklamasi lahan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sepanjang 2011-2018, melalui citra satelit, terdapat 3.033 lubang bekas tambang, termasuk tambang batubara, yang tersebar di seluruh Indonesia, tidak dikelola dengan benar atau diabaikan. Dari jumlah itu, 1.735 lubang tambang batubara ada di Kalimantan Timur. Dalam kurun yang sama, sebanyak 32 orang tewas akibat tenggelam di lubang bekas tambang tersebut. (Kompas, 18/12/2018)
Sumber: Kompas.com