JAKARTA, KOMPAS — Optimalisasi penggunaan gas untuk transportasi membutuhkan komitmen lintas sektor. Tanpa komitmen bersama, rencana pemerintah untuk mengurangi impor minyak tidak akan optimal.

Mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sampai tahun ini seharusnya dibangun 231 SPBG di Indonesia dengan kebutuhan gas diperkirakan 103 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Namun, sampai 2017 baru dibangun 46 SPBG.

Pemerintah juga memastikan tidak ada pembagian alat konversi bahan bakar minyak ke gas untuk kendaraan dan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas pada 2019 (Kompas, Senin, 14 Januari 2019).

Mengomentari hal itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, dalam diskusi ”Masa Depan dan Tantangan Pengelolaan Gas Bumi Nasional” yang diadakan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Selasa (15/1/2019), di Jakarta, menyatakan, penggunaan gas untuk transportasi pada 2019 tidak akan memenuhi target.

”RUEN ini sudah menjadi dokumen negara. Semestinya, masing-masing sektor harus konsisten (untuk mencapainya). Tujuan pemanfaatan gas untuk sektor transportasi adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak karena produksi gas kita berlebih,” kata Tumiran.

Hingga akhir 2018, produksi minyak mentah menyentuh 800.000 barel per hari. Padahal, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) berkisar 1,5 juta barel per hari. Di sisi lain, sekitar 40 persen produksi gas nasional masih diekspor.

Antre di SPBG – Para sopir bajaj gas antre menunggu giliran untuk mengisi bahan bakar di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Jalan Pemuda Raya, Jakarta, Jumat (19/12). Masih minimnya keberadaan SPBG di kawasan Ibu Kota Jakarta membuat para sopir bajaj ini harus antre hingga satu jam lebih untuk mengisi bahan bakar. Kompas/Wawan H Prabowo (WAK) 19-12-2014

Menurut Tumiran, industri otomotif harus diarahkan untuk mendukung upaya pemerintah mengganti BBM dengan gas. Salah satunya dengan membuat produk kendaraan yang bisa menggunakan BBM dan gas.

”Jika industri otomotif belum bergerak ke sana, tidak mungkin gas disiapkan karena investasi SPBG ini tergolong besar. Kementerian Perindustrian bisa saja ‘memaksa’ industri otomotif untuk turut mendukung,” kata Tumiran.

Diskusi ini turut dihadiri oleh Pengarah Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Emil Salim, anggota Komite BPH Migas Saryono Hadiwidjoyo, dan Kasubdit Deputi Minyak dan Gas Bumi Bappenas Dody Virgo Sinaga. Hadir juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dan Koordinator Nasional PWYP Maryati Abdullah.

Emil Salim menyatakan, produksi gas bumi harus dioptimalkan untuk kebutuhan dalam negeri, baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku. Sebab, jika tidak ada temuan sumur baru, cadangan gas bumi Indonesia akan habis pada 2060.

Sayangnya, ujarnya, harga gas bumi di Indonesia lebih mahal ketimbang gas impor. Dampaknya, sejumlah industri keramik, misalnya, lebih memilih mendatangkan gas dari luar negeri.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Peraturan ini menyatakan, harga keekonomian gas di tingkat konsumen akhir adalah enam dollar AS per MMBTU.

Di lapangan, hal ini tidak sepenuhnya terlaksana. Komaidi Notonegoro menjelaskan tentang kasus yang terjadi pada PT Torabika sebagai konsumen akhir. Di kepala sumur atau hulu, harga gas 3 dollar AS per MMBTU. Namun, harga itu melejit menjadi 14,50 dollar AS saat sampai di PT Torabika. Ini disebabkan oleh trader bertingkat yang harus dilalui sebelum sampai ke pengguna akhir.

Saryono Hadiwidjoyo menyatakan, jaringan pipa gas tersebut tidak menggunakan open acces. Sistem open acces adalah jaringan transmisi gas yang dimiliki pemegang izin usaha pengangkutan gas dan dapat dimanfaatkan pihak lain.

”Itu menggunakan jaringan pipa tumpang tindih sehingga biaya jadi membengkak,” kata Saryono.

BPH Migas menyarankan untuk menggunakan pipa open acces. Ini bertujuan agar tarif pengangkutan gas bisa ditekan. Dengan open access, tarif rata-rata hanya 0,327 dollar AS per MMBTU.

Seluruh pembicara sepakat, persoalan gas di Indonesia masih sangat kompleks. Laporan berjudul Masa Depan dan Tantangan Pengelolaan Gas Bumi Nasional yang dirilis PWYP menjelaskan, infrastruktur gas masih minim dan kesenjangan antarpulau masih terjadi. Di samping itu, harga gas masih mahal di tingkat konsumen akhir.

Sumber: Kompas.com