Penempatan batu bara sebagai motor pembangunan, bukan komoditas semata, telah dipahami urgensinya oleh seluruh pihak. Namun dalam praktiknya, itu tidak mudah. Terdapat sejumlah hambatan, baik dari internal, yakni dalam pembebanan penerimaan negara terhadap batu bara, maupun sisi eksternal, seperti volatilias harga yang sepenuhnya dibentuk oleh pasar global. Hal ini menjadi sorotan dalam Diskusi Publik bertajuk “Strategi Pengelolaan Batubara Nasional: Tantangan Fiskal dan Transisi Energi” yang diselenggarakan oleh PWYP Indonesia di Jakarta (4/10) lalu.

Josaphat Rizal Pramana, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan komitmen pemerintah dalam mengelola batu  bara sebagai modal pembangunan dengan membatasi produksi dan ekspor batu bara dan mengutamakannya untuk industri domestik. “Sebagaimana terjabarkan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, hal ini masih akan menjadi muatan dalam rencana pembangunan mendatang,” sebut Rizal.

Sementara realitanya kini, batubara masih diperlakukan sebagai tumpuan pendapatan negara untuk menutup defisit neraca pembayaran dan mengatasi lemahnya rupiah akibat gejolak ekonomi global. Ironinya, pengelolaan batu bara tidak terlepas dari permasalahan kebocoran penerimaan negara. Tak kalah penting, mempertimbangkan eksternalitas penggunaan batu bara, transisi energi menuju energi ramah lingkungan dan berkelanjutan urgen untuk dilakukan.

 

Kebocoran Penerimaan Negara

Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW), menyampaikan temuan ICW terkait diskrepansi data produksi maupun ekspor batu bara yang berpotensi menyebabkan hilangnya triliunan penerimaan negara. Tak hanya itu, ICW juga menemukan adanya pembayaran “uang taktis” di luar kewajiban keuangan yang dibayarkan perusahaan kepada lembaga pemerintah terkait dalam proses pengurusan ekspor batu bara. Hal ini tentu menambah biaya operasional perusahaan dan berpotensi mengurangi porsi pembayaran pajak kepada negara, tegas Firdaus.

“Bahkan kami menemukan diskrepansi nilai penjualan ekspor batu bara antara laporan BPK dengan dokumen penjualan perusahaan. Dari uji petik yang kami lakukan, selisihnya mencapai 1,4 juta USD hanya untuk transaksi ekspor satu perusahaan selama dua bulan. Bisa jadi, ada pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh oknum”, tambah Firdaus.

Pengawasan yang lemah ditengarai membuka celah kebocoran penerimaan negara, jelas Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. “Pengawasan idealnya mencakup penelusuran (traceability) komoditas batu bara, termasuk mengetahui asal barang, siapa penambangnya, siapa yang berdagang dan dipasok ke mana saja. Pasalnya, instrumen pengawasan yang digunakan berbasis pelaporan perusahaan. Perusahaan batu bara dapat memanfaatkan celah dari sistem pelaporan yang berbasis self-assessment tanpa diikuti verifikasi lapangan oleh regulator”, tukas Maryati.

Merry Maryati, Direktur Industri dan Pertambangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Neger Kementerian Perdagangan menjelaskan bahwa, surveyor wajib menyampaikan laporan realisasi ekspor batu bara ke portal inatrade, juga laporan tertulis mengenai kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis serta rekapitulasi atas Laporan Surveyor tiap bulannya.

Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan Mariatul Aini menilai, kebocoran penerimaan salah satunya disebabkan karena hanya mengandalkan surveyor dalam pengawasan batu bara. “Untuk mengatasinya, perlu dilakukan verifikasi kesesuaian pembayaran kewajiban PNBP serta membuat one single identity untuk setiap transaksi ekspor tambang”, tambahnya.

Menanggapi hal ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Sri Raharjo menjelaskan bahwa untuk mengatasi kebocoran penerimaan, pemerintah telah mengembangkan e-PNBP. Sistem ini juga dapat menjamin ketepatan perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan oleh perusahaan.

Transisi Energi di Indonesia Ke Depannya

Ediar Usman Kepala Bagian Fasilitasi Penanggulangan Krisis Energi-Dewan Energi Nasional, menjelaskan bahwa penting bagi pemerintah untuk konsisten dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Naisonal (RUEN) untuk menjamin pasokan energi yang aman dan berkelanjutan bagi masyarakat. Termasuk dalam upaya pengendalian produksi dan ekspor batu bara yang bermuara pada transisi energi menuju energi baru dan terbarukan (EBT).

Dihadapkan pada realita produksi batu bara kini, Ediar mengakui bahwa sulit melakukan pembatasan produksi maksimal 400 juta ton di tahun 2019. Dewan Energi Nasional akan meningkatkan fungsi pengawasan untuk memastikan pencapaian target RUEN per tahunnya. Masalah yang timbul, seperti target bauran energi yang belum tercapai, akan diselesaikan bersama dengan K/L lain.

“Di sisi lain, perkembangan EBT di Indonesia sebenarnya kini cukup meningkat dengan melihat banyaknya potensi yang ditemukan kini dan belum terbayangkan sebelumnya. Misalnya, tenaga banyu dan tenaga panas bumi,” imbuh Ediar Usman.

Lucky Lontoh, perwakilan dari International Institute for Sustainable Development (IISD) menyampaikan keragaman faktor pendorong dilakukannya transisi energi di negara produsen batu bara. “Jerman didorong oleh gerakan komunitas. Sementara di China, faktor ekonomi yang memegang peranan penting”, tambah Lucky.

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Harris, menjelaskan secara alamiah transisi energi menuju EBT akan terjadi ketika harga listrik yang dihasilkan dari EBT semakin terjangkau dan bisa bersaing dengan energi fosil. “Dengan kemajuan teknologi kini dan kedepannya, hal ini adalah suatu keniscayaan”, tukas Harris.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma menegaskan bahwa siap tidak siap Indonesia harus beralih menuju EBT. “Sebuah ‘strong government’ diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan transisi energi yang efektif bisa diwujudkan”, tegas Surya.