Komitmen negara-negara terkait beneficial ownership dalam platform Open Government Partnership (OGP) semakin menguat. Kini, 21 negara telah memiliki komitmen beneficial ownership dalam OGP. Terlebih, Beneficial Onwership Leadership Group, sebuah koalisi negara-negara yang akan melaksanakan komitmen beneficial ownership, telah diluncurkan dalam OGP Summit di Ottawa, (30/5) lalu. Selain mendorong pelaksanaan kebijakan beneficial ownership yang lebih ambisius, pembentukan koalisi ini juga dimaksudkan sebagai hub berbagi pengetahuan dan praktik baik dalam pelaksanaan komitmen beneficial ownership.
Pelaksanaan komitmen yang efektif menjadi kunci untuk mentransformasi komitmen menjadi perubahan sebagaimana yang diharapkan. Sejumlah tantangan masih membayangi implementasi komitmen tersebut, utamanya bagi negara berkembang.
Di Indonesia, payung hukum pelaksanaan kebijakan beneficial ownership telah diterbitkan pada Maret 2018. Satu tahun telah berlalu, namun infrastruktur pendukung kebijakan seperti sistem pengumpulan, penyimpanan, dan pengolahan data beneficial ownership belum siap.
Tak hanya itu, verifikasi data beneficial ownership juga masih menjadi persoalan dalam implementasi komitmen beneficial ownership di Indonesia, sebagaimana diungkapan oleh Slamet Soedarsono, Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ketika membuka sesi Knowledge Café[1], untuk memetakan tantangan pelaksanaan komitmen beneficial ownership di OGP Summit bulan lalu. Beberapa tantangan utama yang ditemui dalam implementasi komitmen beneficial ownership yaitu:
Kemauan Politik
Kemauan politik disebut-sebut sebagai tantangan terbesar dalam pelaksanaan komitmen beneficial ownership. Kemauan politik secara konkrit harus diwujudkan dengan pembuatan target yang ambisius, spesifik, dan bisa dicapai. Salah satunya menyusun kerangka hukum beneficial ownership. Penyusunan kerangka hukum beneficial ownership yang efektif harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk sektor privat dan masyarakat sipil.
Kepatuhan Perusahaan
Ketika kerangka hukum beneficial ownership telah dibentuk, hal yang perlu diperhatikan adalah kepatuhan perusahaan. Terlebih bagi negara yang masih menetapkan prinsip self-reporting dalam pelaporan data beneficial ownership. Untuk itu, penjangkauan ke sektor privat diperlukan, yakni dengan menekankan insentif yang akan mereka dapatkan dari penerapan kebijakan beneficial ownership. Karena pada dasarnya tidak ada siapapun yang mau melakukan bisnis di negara yang berisiko.
Akurasi Data
Data menjadi hal yang krusial dalam pelaksanaan komitmen beneficial ownership. Penting untuk memastikan data beneficial ownership yang disampaikan oleh perusahaan adalah informasi yang valid. Sebagai alternatif, pemerintah bisa menyusun regulasi yang memungkinkan pemberian sanksi ke perusahaan jika informasi yang mereka berikan tidak tepat, seperti yang diterapkan di Slovakia. Sehingga beban pembuktian berada di sisi perusahaan.
Menghubungkan dengan Inisiatif Keterbukaan Lain (Open Contracting)
Komitmen beneficial ownership diyakini akan memberikan dampak yang lebih bermakna jika dihubungkan dengan inisiatif keterbukaan lain, seperti Open Contracting. Hal ini bisa digunakan untuk mengurangi potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, serta perizinan. Namun hal ini sulit terealisasi karena ketersedian data yang minim.
[1] Sesi Implementing Open Contracting and Beneficial Ownership to Combat Corruption in Challenging Contexts ini merupakan salah satu sesi paralel dalam 2019 OGP Summit yang diusung oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama dengan The Engine Room, Transparency International (TI) Australia dan Natural Resource Governance Institute (NRGI).