Reformasi kebijakan di industri ekstraktif memiliki peran yang signifikan untuk mendorong tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Namun, tidak sedikit tantangan yang harus dilalui untuk mendorong perbaikan itu, sehingga menjadi sorotan utama dalam diskusi panel PWYP Indonesia di CSO Day Open Government Partnership (OGP) Summit di Meksiko (27/10) lalu.
Rizky Ananda, Manajer Keterbukaan dan Tata Kelola Ekstraktif PWYP Indonesia, menyampaikan 80% penduduk miskin Indonesia berasal dari daerah kaya sumberdaya ekstraktif. Selain itu, enam juta hektar izin tambang illegal berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. “Tambang illegal ini telah merusak jutaan hektar hutan yang berperan penting menyerap emisi gas rumah kaca,” ujar Rizky.
Rizky bercerita mengenai pengalaman kerja PWYP Indonesia dan Swandiri Institute di Saggau, Kalimantan Barat dalam menggunakan data spasial yang diambil dengan menggunakan drone. Data spasial ini digunakan untuk mengadvokasi penggunaan hutan dan lahan masyarakat adat Dayak Tobak. Keterbukaan data dan informasi mampu menjawab tantangan terbesar dalam tata kelola ekstraktif, yaitu memberi kontribusi nyata bagi masyarakat.
“Baik sistem, regulasi, maupun aplikasi digital harus menempatkan masyarakat sebagai fokus utamanya. Tata kelola yang berpusat pada masyarakat mampu menjamin peranan industri ekstraktif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karenanya, keterbukaan dan transparansi dibutuhkan”, tutur Rizky.
Panelis lainnya, Allan Barnacha dari Bantay Kita Filipina menyampaikan tentang pelibatan komunitas dalam tata kelola sector ekstraktif di Filipina, yakni melalui penerapan Free, Prior, Informed and Consent (FPIC). “Meski telah memiliki payung hukum yang jelas, pelaksanaan FPIC sendiri masih belum optimal, penyebab utamanya adalah masih minimnya kapasitas masyarakat lokal,” ujar Allan.
Jessica Webb, peneliti World Resource Institute menanggapi hal ini dari sudut pandang lingkungan. Jessica menyoroti masih minimnya standar lingkungan dalam kegiatan industri ekstraktif, juga masifnya laju deforestasi dan degradasi lingkungan akibat kegiatan pertambangan.
“Dengan tata kelola yang menjunjung keterbukaan data dan informasi, pelibatan komunitas serta pemberlakuan standar lingkungan yang memadai, sektor ekstraktif seharusnya mampu memberikan andil dalam pencapaian agenda global, yaitu pembangunan berkelanjutan”, jelas Isabel Munila dari Oxfam America, selaku moderator, di penghujung diskusi.